Oleh Hasan Aspahani
PADA abad ke-16 Hamzah Fansuri menulis 40 bait syairnya yang terkenal dengan nama “Syair Perahu” itu. Syair didaktis kepada orang muda itu memakai perahu sebagai tamsil diri manusia.
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Laut atau samudera dan perahu atau bahtera yang masing-masing menjadi tamsil untuk kehidupan dan diri manusia telah menjadi metafora yang universal. I am the captain of my soul, kata Henley (1849—1903) dalam sajaknya yang termashhur “Invictus” (1875). Walt Whitman (1819–1892) menutup sajaknya “Song for All Seas, All Ships” dengan “A pennant universal, subtly waving, all time, o’er all brave sailors, / All seas, all ships.
Pengandaian tubuh atau individu manusia sebagai perahu sejak Hamzah Fansuri terus dipakai oleh banyak penyair, dengan sadar dan saya yakin banyak yang tak sadar, sebagai pengulangan, memanfaatkan perangkat metafora yang ada dan siap pakai.
Membaca sajak Nissa Rengganis “Kepada Laut” serta merta mengingatkans saya pada Fansuri. Ia memanfaatkan tamsil tubuh sebagai perahu, dan merasa tak perlu lagu memverbalkan itu dalam sajaknya. Dan itu siasat puitik yang efisien. Keringkasan sajaknya berhasil membangun kepadatan citraan. Kita langsung berhadapan dengan imaji tubuh (sebagai perahu itu) yang disandarkan, dilayarkan, lalu pada puncaknya dikaramkan.
Mari kita baca:
Tubuhku disandarkan
Di tepi laut
Memandang segala keluasanTubuhku dilayarkan
Menuju laut
Mencari asal mula air mataTubuhku dikaramkan
Ke dasar laut
Mengekalkan keheningan(Suara dari Pengungsian; Langgam; Tasikmalaya; 2021)
Penopang utama sajak ini adalah repetisi atau paralelisme. Mengulang kata “tubuhku”, sebagai anafora sempurna pada tiga bait. Diikuti oleh pengulangan kata “laut” terciptalah imaji lain: ombak yang datang perlahan dan teratur.
Bagi saya pusat pemaknaan dari sajak ini adalah frasa “mencari asal mula air mata”. Yang ingin dikatakan dengan citraan visual ini adalah: mencari sebab dari derita kehidupan. Apakah jawabannya hanya akan ditemukan jika kita telah mati? Karam ke dasar laut, kekal dalam keheningan? Itulah gaung pertanyaan yang tersisa setelah kita terombang-ambing bersama sajak ini.
Rengganis mengulang khazanah cara ucap yang telah ada dalam sejarah puisi yang mendahuluinya, tapi dengan cara yang lain, cara yang segar. Yang ia hasilkan adalah sebuah sajak liris-imajis, bukan lagi syair didaktis.
Aku dan laut dalam sajak ini, dihadap-hadapkan, sekaligus dipersatukan. Tiga bait sajak ini cukup untuk sebuah permainan intensitas emosi, dari terpisah hingga tersatukan, dan terpukau hingg lebur kekal dalam keheningannya.
Sajak ini sederhana, tapi dengan kesederhanaan itulah ia terasa mewah. Semua perangkat puitika yang dipakai berfungsi efisien dan saling dukung. Perhatikan larik kedua dari tiap-tiap bait. Dari “di tepi laut”, “menuju laut”, dan terakhir “ke dasar laut”.
Frasa-frasa itu mendukung dan menguatkan larik pertama dan ketiga dari masing-masing bait dan membangun kompleksitas dan tentu saja terutama keutuhannya sebagai sebuah puisi.
Jakarta, 16 Desember 2024