Esai: Membuat Sajak, Melihat Lukisan – Chairil Anwar (1922-1949)

Oleh Chairil Anwar (1922-1949)

SAJAK terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dsb. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kualitas cat dan kain atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukanlah bahan-bahan yang dipakai yang penting, yang penting adalah hasil yang dicapai.

“Hasil” ini pada umumnya “terbagi” dalam bentuk dan isi. Tetapi “pembatasan” yang sangat nyata dan terang antara bentuk dan isi ini tidak pula bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti tutup-menutupi. Karena hanyalah perasaan-perasaan si seniman yang benar-benar jadi bentuk dan caranya menyatakan yang istimewa, tersendiri yang sanggup membikin si penglihat, pembaca atau pendengar terharu – melambung atau terhenyak.

Jika dua orang pelukis sama-sama melukiskan suatu bagian dari kota, bisa kejadian yang lukisan satu mengagumkan kita, sedangkan lukisan yang lain kita rasa jelek. Perbedaan bukanlah jadinya terletak pada “pokok”, karena di sini pokok adalah sama. Perbedaan terletak dalam perasaan-perasaan yang mengiringi pemandangan di kota tadi, dan dalam cara bagaimana perasaan-perasaan itu mencapai pernyataannya.

Sebagaimana suatu pokok biasa mengesan pada dua orang pelukis, begitu juga sebaliknya dua bagai pokok bisa meninggalkan keterharuan yang sama pada seorang pelukis. Lukisan yang sederhana dari sepasang sepatu tua bisa “sebagus” lukisan satu pot kembang yang berbagai warna. Karena yang tampak oleh kita bukanlah semata-mata sepatu tua itu, tapi adalah sepatu tua yang “terasa bagus” – dan karena si seniman sanggup menyatakan sepenuhnya dengan garis dan bentuk, karena itu pula maka bisa jadi memaksa kita mengakui hasil keseniannya.

Jadi yang penting adalah: si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaannya. Perkakas-perkakas yang bisa dipakai oleh si penyair untuk menyatakan, adalah bahan-bahan bahasa, yang dipakainya dengan cara intuitif. Dengan “memakaikan” tinggi-rendah dia bisa mencapai suatu keteraturan, dan dalam keteraturan ini diusakannya variasi: irama dari sajaknya dipakainya sebagai perkakas untuk menyatakan. Lagu dari kata-katanya bisa pula dibentuknya sehingga bahasanya menjadi berat dan lamban atau menjadi cepat dan ringan. Dia bisa memilih kata-kata yang hubungan kata-kata yang tersendiri, ditimbang dengan saksama atau kata-kata ini menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya bisa dibikinnya menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya. Dengan irama dan lagu, dengan bentuk kalimat dan pilihan kata yang tersendiri dan dengan perbandingan-perbandingan si penyair menciptakan sajaknya dan hanya jika di pembaca sanggup memperhatikan dengan teliti “keistimewaan” yang dicapai oleh si penyair, bisalah si pembaca mengartikan dan merasakan sesuatu sajak dengan sepenuhnya. Merasa sebuah sajak bagus tidaklah harus didasarkan atas suatu atau beberapa dari “perkakas” bahasa yang disebut tadi, tapi harus didasarkan atas kerja sama dan perhubungannya yang sama dengan “pokok”.

Bahwasanya pokok tidak menentukan nilai hasil kesenian, bukanlah berarti bahwa semua pokok bisa membawa keterharuan yang sama pada penyair. Sebaliknya malahan: sudah tentu saja bahwa berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia tidak kita hiraukan, karena dia tidak menduduki tempat yang “penting” dalam kehidupan kita. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan, ketuhanan – inilah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman.***

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *