Dari Kami: Tak Perlu Bersumpah Menyair Sepanjang Hidup, tapi….

Oleh Hasan Aspahani

MAJALAH Horison (yang sudah tak terbit lagi edisi cetaknya) Nomor 1, Tahun XIX, Januari 1985 memuat wawancara dengan Goenawan Mohamad. Pembicaraan panjang hingga enam halaman itu sebagian besar omong soal pers, disiplin memisahkan opini dan fakta, tentang kebebasan pers, dan majalah Tempo yang tampaknya saat itu mulai moncer oplah dan pengaruhnya. Hanya sedikit pertanyaan soal puisi, dan kami ingin mengutip yang sedikit itu.

Tanya (T): Apakah sudah tak ada kerinduan untuk menulis puisi?

Jawab (J): Saya mencoba menulis. Tapi setelah saya baca sendiri, jelek. Saya buang saja. Daripada menulis puisi, dan dimuat hanya gara-gara saya punya nama, itu menyesatkan pembaca sastra. Lebih baik saya tidak menulis puisi. Yang masih mau membaca puisi saya, ya baca puisi yang dulu saja. Saya tidak punya sumpah menjadi penyair seumur hidup, hingga berbahaya bagi perkembangan orang lain. Pernah juga dalam pengadilan puisi dulu saya digugat mengapa tidak menulis puisi lagi. Saya jawab, Chairil Anwar juga tidak menulis lagi, kenapa tidak digugat?
Maksud saya jangan repot dengan penyairnya. Kritik sastra dan pergunjingan sastra di Indonesia terlalu banyak repot dengan penyairnya.
Apakah saya harus mengulang-ulang yang lama supaya tetap menulis? Terus terang saja, sajak Pak Takdir yang sekarang, bagi saya tidak bermutu. Tapi kalau dia dihargai sebagai Pak Takdir yang dahulu, itu benar. Saya tidak akan memaksa-maksakan diri. Ada saatnya untuk datang, ada saatnya untuk pergi.

 T: Masih mengamati sastra Indonesia kan, Pak?

J: Nggak!

T: Tapi mungkin punya pendapat?

       J: Kesusasteraan sekarang jauh lebih hebat dibanding zaman saya menulis. Novel banyak, puisi bagus. Bukan saja kuantitas, tapi juga kualitas. Puisi-puisi sekarang lebih bagus dibanding puisi-puisi saya. Karena itu saya minder menulis puisi.

 T: Yang baru-baru?

J: Sayangnya, banyak karya, kurang kritikus. Yang saya amati adalah kurangnya kritik sastra yang bisa memilah-milahkan ini yang baik, ini yang tidak. Mungkin belum lahir saja kritikus yang baru. Situasi bukan penyebab. Situasi dulu juga tidak enak, toh lahir kritikus.

Kami menemukan wawancara itu bisa dibilang secara kebetulan. Kami membongkar arsip majalah Horison untuk memburu sajak-sajak untuk situs Hari Puisi ini. Itulah yang kami lakukan beberapa bulan ini. Dan itu ternyata sangat mengasyikkan. Menjadi pembaca sajak Indonesia – baik yang sudah pernah kami baca, atau yang benar-benar baru kami baca di tumpukan arsip tersebut – menyadarkan kami betapa banyak karya bagus yang sudah dicapai oleh terbaik penyair kita yang telah memperkaya khazanah puisi Indonesia. Dan kami melewatkannya.

Kami menikmati keasyikan itu, tapi juga didera sedikit rasa bersalah dan menyesal. Kami selama ini kurang membaca sajak Indonesia. Mungkin ini dialami oleh sebagian besar penyair Indonesia sekarang: akses ke majalah sastra, buku-buku sastra yang senantiasa dicetak terbatas itu sulit. Itu alasan yang bagus.  Lantas sesal dan rasa salah itu kemudian membesarkan hati dan meyakinkan apa yang kami lakukan di situs Hari Puisi ini: membangun Antologi Tumbuh ini mungkin bisa mengatasi keterbatasan akses itu.

Kami membayangkan, mungkin kami akan menjadi penyair yang berbeda jika saja dulu membaca sajak-sajak yang kini kami temukan dan kami sajikan di Hari Puisi. Ada sajak-sajak yang kami tulis (waktu itu rasanya telah menemukan sesuatu yang baru) dan ternyata sudah digarap dengan baik oleh penyair senior kita, dan kami tidak tahu karena dulu kami tak pernah membacanya. Sajak itu kini terasa mentah jadinya, dan sia-sia saja dulu menuliskan itu.

Yang ingin kami sampaikan adalah: menjadi pembaca puisi itu sama pentingnya dengan menulis puisi.  Puisi Indonesia membutuhkan lebih banyak pembaca. Siapapun pembaca itu.  Jika ia seorang penikmat, maka memang kepada merekalah sajak-sajak terbaik seharusnya sampai dan mendapatkan harganya. Jika ia penyair, maka faedah sajak itu jadi ganda: menjadi tolok ukur bagi sajak-sajak yang hendak ia tulis, juga menjadi teks yang bisa dinikmati sebagai pembaca murni.

Sikap Goenawan Mohamad dalam wawancara di Horison yang kami kutip di atas bisa jadi teladan. Jika telah ada sajak bagus yang ditulis dan kita lantas memaksa menulis sajak yang buruk atau tak lebih bagus dari sajak yang sudah ada lantas buat apa?

“Apakah saya harus mengulang-ulang yang lama supaya tetap menulis?” ujar Goenawan Mohamad. Untuk tidak mengulang, sajak sendiri dan sajak orang lain, tentu tak ada cara lain kecuali: banyak-banyaklah membaca.

Catatan bulan ini tidak dimaksud untuk menolak kiriman-kiriman puisi dari pembaca. Beberapa kiriman kami muat. Mereka adalah para penyair mutakhir dan para penulis muda yang kami anggap sudah memberikan sumbangan bagi perkembangan puisi kita.  Itu sudah kami tegaskan sejak awal, bahwa media daring ini ingin melacak puisi Indonesia ke titik paling hulu kemana kami bisa mencapainya, dan ke kuala paling terkini dari perkembangan puisi Indonesia dimana kami bisa yakin bahwa apa yang kami temukan benar-benar telah memberi warna yang berbeda pada pilihan tema dan gaya ucap. Dan bulan-bulan ini kami lebih asyik mencari lewat penelusuran arsip majalah-majalah sastra dan buku-buku lama.

Beberapa waktu lalu, kami menghadiri perayaan ulang tahun penyair besar kita Sapardi Djoko Damono (kata Goenawan Mohamad bukan ulang tahun tapi kelahiran kembali) yang ke-77. Meriung pada satu meja menjelang perhelatan malam itu kami sempat berbincang soal pembaca sajak. Penerbit Gramedia menerbitkan ulang enam buku puisi Sapardi dan satu buku baru seri novel “Hujan Bulan Juni”, judulnya “Pinkan Melipat Jarak”.

Kami sepakat untuk bergembira bahwa: ada generasi pembaca baru yang membaca – dan yang paling penting – membeli buku-buku puisi. Itulah yang ditangkap Gramedia. Sapardi sempat kesal kepada beberapa penerbit karena buku-buku puisinya benar-benar tak terurus. Dia lantas menarik seluruh buku-bukunya dan menerbitkannya sendiri. Ternyata buku-buku tersebut laku. Tiap bulan Sapardi bisa mencetak – secara terbatas- dan menjual ratusan buku dari beberapa judul yang ia terbitkan sendiri. Ini mungkin yang membuat Gramedia melihat peluang pasar.

“Kami sudah sepakat mau menerbitkan buku Pak Sapardi sejak tahun lalu. Tapi ya itulah, perlu waktu satu tahun kemudian baru terwujud. Mungkin nunggu ulang tahun ke-77 juga,” kata Mirna Yulistianti, penyelia naskah Gramedia.

Mungkin memang tak perlu kita bersumpah menjadi penyair seumur hidup, tapi rasanya tak ada salahnya jika kita berkomitmen tak pernah berhenti membaca puisi. Itu juga jalan yang baik untuk membuat puisi Indonesia hidup dan berkembang dengan sehat walafiat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *