Esai Klasik: Aku Plagiator Ch. Anwar? Atau Chairil Plagiator Aku?

Oleh Mh. Rustandi Kartakusuma

 


Pengantar editor:  Beginilah cara Mh. Rustandi Kartakusuma menyelesaikan soal plagiarisme yang melibatkan dirinya, Chairil Anwar, Jassin, dan Mundingsari: dia menulis artikel. Jassin mengoreksi bukunya. Pada cetakan kedua “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45” sajak terkait dihapuskan  dan dinyatakan sebagai sajak Rustandi. 


 

DI DALAM buku yang bernama “Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45” inventarisasi yang disusun H.B. Jassin mengeni penyair tersebut, keluaran Gunung Agung di Jakarta, pada hal. 51 ada sajak yang berikut:

Kuda Jalang
Debu menyaputi bumi
Berat
Setinggi raksasa
Asap mesiu mati
Dan bangkai menghantu
Tebal berkeluyuran
Dalam pengap ini
Kukeping dinding
Aku berseru

Sajak ini dikatakan Jassin ciptaan Ch. Anwar.

Di dalam kumpulan sajak Mh. Rustandi Kartakusuma yang diberi berjudul (bernama) “Rekaman dari Tujuh Daerah” dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, pada hal. 35 terdapat sajak ini.

DEBU menyapuiti bumi
berat
setinggi raksasa

Asap mesiu mati
dan bangkai menghantu
tebal berkeluyuran.

Dalam pengap ini
kukeping dinding
Aku berseru –.

Suaraku bulat-bulat dibenam senyap

Tuhan, Engkau sungguh Maha Kuasa.

Dengan mengabaikan dulu kedua baris yang terakhir, jelas, plagiat yang biada. Siapa?
Rustandi atau Chairil?

Rustdi plagiator Chairil? Atau Chairil plagiator Rustandi? Jauh lebih penting dari pada kehidupan siapapun. Dia mengancmam azas-azasnya yang vital, Karena Mh. Rustandi Kartakusuma, penyair “Rekaman dari Tujuh Daerah” itu tidak lain tidak bukan adalah… aku sendiri.

ANTARA Chairil dan aku tidak pernah ada pergaulan. Ada sekali waktu di zaman Jepang kami diperkenalkan orang (St. Takdir Alisyahbana), tapi perkenalan pertama tidak membawa ke perkenalan kedua dan selanjutkan ke suatu pergaulan. Mana bisa dua antipoda.

Karena itu tidak mungkin aku mencuri sajak Chairil atau sebaliknya Chairil mencuri sajak aku seperti orang mencuri uang: dari saku, meja tulis, tas, dsb.

Pencurian tersebut harus dilakukan dari majalah atau buku yang memuat sajak itu. Siapakah yang terdahulu mengumumkan sajaknya? Dia itu yang paling banyak harapan akan terbebas dari tuduhan.
H.B. Jassin berkata dalam bukunya, bahwa ‘Kuda Jalang” dia temuka dalam buku karangan Mundingsari “Manusia Sebagai Pengarang”, yang diterbitkan oeh Pena pada tahun 1963. Tapi Mundingsari pada gilirannya mengucapkannya pula. Dari majalah apa, atau buku apa, tidak dikatakannya. Juga tidak, waktu Jassin memintanya. Ini keterangan yang saya dapat dari Jassin.  Jadi dalam hal Chairil satu-satunya fakta yang telah nyata ialah: Pada tahun 1953 “Kuda Jalang” telah lahir.

Aku membuat sajak yang tak kuberi berjudul itu, kalau bukan pada tahun 1946, pada tahun 1947.

Aku membuat sajak yang tak kuberi berjudul itu, kalau bukan pada tahun 1946, pada tahun 1947. Ini bisa dibuktikan dengan naskah asli, bila sudah aku ketemukan (Saat menulis ini aku di Jakarta, sedang naskah tersimpan di Bandung).

Andaikata naskah itu tidak bisa dipercaya atau hilang, Balai Pustaka bisa diminta keterangan sebagai saksi, kapan persis aku menyerahkan naskah “Rekaman”. Penyerahan itu terjadi sekitar 1949 atau selambat-lambatnya 1950. Tanggal yang pasti tentu ada dalam arsip penerbit tersebut. Pada saat sekarang yang aku tahu sendiri dengan pasti ialah “Rekaman” terbit pada tahun 1951.

Aku sayang tidak ingat lagi, apakah sajakku pernah dimuat dalam sesuatu majalah sebelum diserahkan kepada Balai Pustaka.

Alhasil, fakta-fakta yang sekarang ini nyata adalah:

a. Sajak saya antara 49 dan 50 sudah ada,
b. Sajak Chairil baru pada tahun 1953.

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari kedua fakta ini kesimpulan yang sementara. Kesimpulan yang mungkin mutlak dan menentukn, baru bisa didapat segera sesudah Mundingsari memberi tahu, dari mana dia mengutip “Kuda Jalang”. Tempat mengutipnya tentu bertanggal.

MAIN detektif-detektifan dan penarikan saksi-saksi di atas tadi hanya untuk menyelesaikan soal Chairil-Rustandi dengan cara yang khas, yaitu cara juridik-formal.

Bagiku sendiri – artinya dalam pertanggungan jawabku terhadap diriku sendiri –, cara juridik-formal itu tentu tidak perlu. Aku tahu, apakah aku plagiator atau bukan.

Sebagaimana seorang ibu ingat benar keadaannya waktu dia melahirkan anaknya, begitu pula masih jelas terbayang di mataku keadaan jiwa dan sedikit banyak keadaan sekelilingku, ketika aku melahirkan sajak itu. Di dalam apa yang aku bilang “keadaan sekeliling” tidak ada terletak majalah atau buku terbuka pada halaman yang memuat “Kuda Jalang”.

Orang bisa menjiplak sesuatu, pertama langsung dari buku atau majalah dsb. yang dia baca, kedua dari dalam perbendaharaan ingatannya tidak ada tersimpan waktu itu sajak “Kuda Jalang”, Karena sebab yang sederhana sekali: aku tidak pernah membacanya waktu itu. Sama halnya dengan Jassin, yang kerja sehari-harinya mengumpulkan sajak-sajak Jassin jumpai “Kuda Jalang” dalam buku Mundingsari terbitan tahun ‘53, atau dalam buku Jassin terbitan tahun ’56. Dengan perkataan lain aku tidak usah ragu-ragu tentang pernah tidaknya kubaca “Kuda Jalang” sebelum tahun ’46-’47, tahun aku melahirkan sajakku sendiri.

Karena itu tidak mungkin aku menjiplak dari ingatgan dengan sadar atau tidak sadar.

Dan sebenarnya, buat apa aku akan menjiplak? Aku tidak sakit, tidak kekurangan uang, satu faktor yang menurut Jassin, dll. mendorong Chairil Anwar berplagiat.

Buat apa aku akan menjiplak Chairil? Sajak-sajakku pada pandanganku lebih bermutu daripada sajak Chairil.

Buat apa aku akan menjiplak Chairil? Sajak-sajakku pada pandanganku lebih bermutu daripada sajak Chairil.  Bahwa golongan yang memperhatikan kehidupan kesusasteraan moderna, golongan mana kecil amat disbanding dengan masyarakat kita seluruhnya, berlawanan faham dengan aku, bukan soalnya di sini, bukan soal dimanapun juga, bagiku.  Soalnya, jika sekiranya Ch. Anwar memandang sajak Archibald McLeish atau Hsu Chih Mo tidak lebih baik daripada sajak yang bisa dia ciptakan (pada ketika itu,) niscaya dia tidak akan menjiplak.

Bua tapa aku akan menjiplaki Chairil? Disamping soal mutu, ada soal produktivita. Aku lebih subur dari Chairil. “Rekaman dari Tujuh Daerah” lebih tebal dari “Deru Campur Debu” tambah “Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan yang Putus”, ditambah sajak-sajaknya dalam buku Jassin. Aku tidak kekurangan cara pengungkapan: aku bisa menulis drama, esai, sandiwara buat anak muda, buku kanak-kanak. Dan banyak lagi lapangan, yang di dalamnya belum ada kepastian bahwa aku tidak bisa bergerak pula: roman skenario pilem, sandiwara radio, dsb. Hal aku dalam lima tahun melecer di luar negeri, tidak menulis apa-apa, bukan tandanya aku telah mandul. Dengan sengaja aku bungkam. Sekali lagi, bahwa orang tidak bisa menghargainya, tidak memandangnya bermutu, bukan soal sekarang ini. (Istilah “Paus” dengan sadar aku jiplak, dari Gayus Siagian).

Buat apa aku akan menjiplaki Chairil? Jikapun aku hendak menjiplak, kenapa menjiplak justru Chairil Anwar, penyair sebahasa?

Buat apa aku akan menjiplaki Chairil? Jikapun aku hendak menjiplak, kenapa menjiplak justru Chairil Anwar, penyair sebahasa? Menjiplak dari bahasa asing, lebih kurang bahayanya akan kepergok daripada menjplak dari bahasa sendiri. Akupun tahu bahasa-bahasa asing, deh!

Tidak, tidak ada alasan apapun bagiku untuk menjiplak. Lagi pula aku punya moral, aku anti eksistensialis-eksistensialisan macam beberapa orang di Jakarta ini.

Lagi pula akupun punya semacam rasa kepridabadian, deh!

“Aku Kartanegara
Titisan Sri Isjana Wikrama-dharma-tunggadewa.
………………………
Mendesah nafasku
Maka fajar tersesat
Dan senja yang hendak membakar langit
pontang-panting lari ke samudera kaku.”

Aku bukan plagiator. Titisan Sri Isjana Wikrama-dharmatunggadewa pantang dan haram berplagiat. Kalau begitu, Chairilkah plagiator?

Atau barangkali premis “Kalau bukan yang satu, niscaya yang lain” itu salah? Barangkali ada kemungkinan-kemungkinan yang lain? Memang ada!

Jika baik Chairil, baik aku tidak berplagiat, maka kesamaan sajak itu adalah suatu mujizat penciptaan yang ajaib sekali. Sebelum menyelami ilmu jiwa penciptaan, the psychology of creation atau creating, aku suka menjelaskan mujizat tersebut. Dan sebenarnya mujizat bukan mujizat lagi, kalau bisa diterangkan. Mujizat justru terjadi dengan melanggar hukum-hukum yang ada.

Itu satu kemungkinan. Kemungkinan yang lain ada juga, yakni orang yang mengutip sajak itu khilaf, keliru. Dikatakannya sajak Chairil yang sebenarnya ciptaan orang lain.

Tetapi apabila dia mengutip sajak aku, kenapa dia hilangkan baris yang terakhir, mengubah baris sebelumnya dan memberinya judul “Kuda Jalang”? Voila suatu teka-teki! Hanya satu orang yang bisa menjawabnya: Mundingsari, pengutip sendiri, jika dia betul mengutip sajak aku.

Dugaan bahwa pengutip khilaf, memberat oleh beberapa pertimbangan.

Sajak tersebut semata-mata menggunakan gambaran (image, beeld). Hal ini sesuai dengan pendapatku tentang puisi, yakni “Puisi adalah hendak mengatakan sesuatu yang tak dapat dikatakan dengan “kata”. Alat-alat yang terutama aku pergunakan ialah gambaran, plastik, dan ketampakan (aanschouwelijkheid). Gambaran lebih aku utamakan daripada alat yang kupandang lahiriah: bunyi, irama dan sanjak (rhyme).

Kalau saya tak salah, ini bukan pandangan Ch. Anwar, baik dalam teori, baik dalam praktik. Dia mempergunakan gamabaran tentu, tapi tidak boleh dibilang seeksklusif seperti aku. Lagi pula dunia gambaran Chairil tentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dari dunia gambaran aku.

Saya rasa gambaran bangkai yang menghantu dan tebal berkeluyuran, sukar dapat dimasukkan ke dalam dunia gambaran Chairil. Gambaran ini hampir-hampir gambar dunia magis (sihir) yang mendirikan bulu roma, sebagaimana pernah kujumpai dalam lukisan-lukisan beberapa orang Bali di Ubud. Chairil jauh sekali dari dunia irreal (tak nyata) itu.

Perihal judul “Kuda Jalang”, apakah ini sesuai dengan sajaknya sendiri? Mana kejalangan dalam sajak itu? Berat dugaan judul hanya sisipan orang yang tak ada sangkut-paut dengan sajak, entah sebagai pencipta, entah sebagai penjiplak.

Sebagaimana ternyata, pemikiran di atas terarah kepenjawaban pertanyaan ini terutama: Aku plagiator.

Apakah Ch. Anwar plagiator, tidak seberapa aku pentingkan.

Waktu menyentuh soal ini dengan beberapa kawan, ada orang yang tertanya-tanya: Kenapa H.B. Jassin tukang arsip, dokumentator, konservator yang sesungguhnya tidak bisa disangsikan lagi, sampai tidak tahu bahwa sajak itu terdapat dalam “Rekaman dari Tujuh Daerah”?

Jawabnya bersahaja: Jassin tidak mengenal “Rekaman dari dalam. Dia belum baca semua. Belum bisa. Belum mengerti. (Tidak pernah akan mengerti?).

Karena itu tidak adil kita menyalahkannya. Yang memegang kunci penyelesaian persoalan telah nyata di atas: Mundingsari.

Atas pertanyaan Jassin dengan surat, darimana dia mengutip sajak tersebut, dia bilang belum bisa mengatakannya. Barangkali dia terlalu sibuk dengan pekerjaan lain. Tak ada baginya waktu terluang untuk mengusuti hal yang pada pandangannya waktu itu mungkin hal yang remeh saja.

Tapi sekarang dia niscaya insyaf akan darya (seriousness) soal tersebut: tuduhan melakukan plagiat adalah tuduhan yang maha berat. (Tuduhan atau curiga sama saja dalam hal ini).

Seorang pujangga bila dimaki orang sebagai pujangga tak bermutu, dia bisa bersikap: Anjing menggonggong, kafilah lalu. “Sayang saudara tak mengerti,” katanya paling banter. Tetapi apabila dia dicurigai atau dituduh melakukan plagiat, itu suatu serangan atas integritasnya.

Karena itu saya minta kepada Sdr. Mundingsari dengan segala kerdaryaan dan kesungguhan: berikanlah kesaksian sdr.!

Dari mana sdr. mengutip sajak itu?

Sdr. tidak khilaf?

Apabila sdr.khilaf, saya yakin, sdr. akan mengakuinya tanp segan, tanpa reserve, karena saya percaya, sdr.-pun punya integrite, punya kepribadian.

Permintaan itu saya majukan kepada sdr. Mundingsari bukan saja atas nama saya sendiri, melainkan juga atas nama keadilan dan sang sejarah. Karena itu saya percaya, sdr. Mundingsari tidak akan menolaknya.

Jika sekiranya sdr. Mundingsari khilaf, tapi tak mau (berani) mengakuinya, itu berarti, bahwa integrite bukan saja di kalangan awam telah hilang, tapi juga di kalangan pujangga dan sastrawan. Bila ini benar, maka keadaan negara kita terlukis dengan perkataan:

DEBU menyaputi bumi
berat
setinggi raksasa.
Asap mesiu mati
dan bangkai menghantu
tebal berkeluyuran.

Jakarta, Januari 1957


Dimuat di Siasat Th. IX, Nomor 503, 30 Januari 1957.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *