Esai: Korie Layun Rampan dan Lengang Daerah Perpuisian

 Oleh Hasan Aspahani

 

I.

ADA berita satu koloman di Kompas, 18 April 1978, hal. 7, berjudul: Buku Puisi. Isinya:

Sebuah buku puisi telah terbit dengan judul “Sawan”.  Penulisnya adalah Korrie Layun Rampan, yang lahir di Samarinda 17 Agustus 1953.

Kumpulan ini berisi 30 sajak, dan tebalnya 32 halaman. Sedangkan penerbitnya adalah “Penerbit Puisi Indonesia”. Korrie adalah Sarjana Muda Ilmu Keuangan dan Perbankan.

Ia menulis berbagai hal, seperti puisi, kritik, cerita pendek, novel dan sebagainya. Tulisannya tersebar di berbagai harian seperti Kompas, Sinar Harapan, Berita Buana, Majalah Basis, Pusara, dan lain-lain.

Karya Korrie yang berjudul “Upacara”, berupa novel, memenangkan hadiah tertinggi dari Dewan Kesenian Jakarat, tahun 1976. (Sides)

              Berita pendek ini, rasanya memadai sebagai bahan untuk memulai pembicaraan tentang sisi kepenyairan sastrawan kita Korrie Layun Rampan.  Ketika ia menerbitkan buku puisi, Kompas ketika itu menilai perlu memberitakannya, meskipun hanya dalam berita satu kolom di halaman dalam.  Dari berita ini kita bisa melihat bahwa Korrie penting karena ia dipautkan dengan novelnya “Upacara”, yang memenangkan sayembara yang diadakan DKJ.  Cap “Jakarta” wabilkhusus “DKJ” sebagai legitimator itu tampaknya penting, lebih penting daripada empat buku puisi Korrie yang ia terbitkan sebelum “Sawan”, yang tak disebutkan di dalam berita.

Menjadi “Jakarta” kala itu tampaknya memang penting sekali.

Berita lain tentang penyair dan buku puisinya yang sama terbit di Sinar Harapan, 22 April 1978, tiga hari setelah berita di Kompas.  Juga satu kolom dan di halaman dalam, judulnya “Sawan”-nya Korrie Layun Rampan.  Berita itu dimulai dengan lead begini:

              DENGAN resmi, Korrie sekarang menyatakan sudah bekerja tetap di Jakarta. Walau pada beberapa waktu yang lalu, dia mengaku tidak tahan mendengar suara mercon tahun baru di Jakarta. Dia yang waktu itu menginap di Wisma Seni TIM, lantas saja ngabur kembali ke Yogya. Tetapi di Yogya ia kesepian. Ia menulis puisi kepada temannya di Banyuwangi.

Sajak yang dimaksud adalah “Sajak Sepi buat Yoko dan Frans di Banyuwangi”. Mari kita baca sajak bertandatahun 1976  itu.

yogya? Masih juga emha dan linus
dan angin malioboro yang terpendam
tiang-tiang malam dan pergulatan kita yang dulu juga

 
kemana lagi hari? Umbu sudah jenuh
psk terlantar dan warno menyuruk ke tengah malam
bayi-bayi lahir di antara duri di sekitar hutan larangan

 
dinding-dinding kota ini masih juga bersaput debu
dulu kau gosokkan puisi-puisimu segairah sunyi merapi
tak terasa hari lenyap dan kita tersuruk-suruk kefanaan

 
yogya? masih juga kosong dalam keajaiban semula
membentangkan padang-padang tekukur. Di sini lengang
daerah perpuisian, perjalanan baja
gairah sejuta kaki bianglala!

 
Pada tahun 1978, sepertinya Korrie sudah menyadari bahwa dia telah menjelma menjadi sastrawan yang “menjadi”. “Sawan” adalah buku puisinya yang ke-5, dan tampaknya punya arti amat penting bagi Korrie.   Buku yang penerbitannya diselenggarakan oleh Hamsad Rangkuti itu sampul depannya dirancang oleh Agus Dermawan T.  Korrie sudah diterima di kalangan sastrawan ibukota.  Sementara ia sejak menang sayembara roman DKJ 1976 itu masih menetap di Yogyakarta dan galau dilanda kesepian. Yogya tak cukup lagi baginya, tak lagi bisa memperluas pergaulannya, masih juga emha dan linus. Apalagi sang guru umbu sudah jenuh, dan psk terlantar. Jakarta terlalu menggoda dan ia pun akhirnya memutuskan meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Jakarta.

 

II.

Demikianlah, sastrawan kita Korie Layun Rampan (1953-2015) mula-mula adalah seorang penyair. Ia merantau untuk belajar ke Yogyakarta pada usia 17 tahun,  pada 1970, selulus dari SMA di Samarinda. Minatnya pada sastra membawanya bergabung pada lingkaran guru penyair Umbu Landu Paranggi. Di Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastra legendaris itulah, ia belajar menulis.  Sebagaimana umumnya anggota PSK lain, ia mula-mula memasuki puisi.  Perkembangan kepenulisannya tampaknya pesat sekali. Sejak 1971 itu karya-karya mulai muncul di banyak media.

saliharaPenyair Gunoto Saparie sahabat dekat Korrie punya banyak cerita tentang betapa rakusnya Korrie membaca dan betapa tekunnya ia menulis. “Korrie waktu itu sangat produktif. Bahkan overproduktif. Ia kutu buku. Buku apa saja dilahapnya,” kata Gunoto mengenang sahabatnya.  Keasyikannya menulis nyaris membuatnya gagal kuliah. Menurut Gunoto, gairah Korrie menerjuni dunia sastra membuat malas belajar di kampus. Banyak mata kuliah yang untuk lulus ujian Negara Korrie harus mengulang sampai tiga kali.

Tiga tahun setelah mulai serius menulis, pada usia 21 tahun, buku puisi pertamanya terbit, 1974 di Samarinda.  Baru pada tahun 1976, Upacara, novelnya yang pertama diterbitkan oleh Pustaka Jaya, dan 1978 terbit kumpulan cerpennya yang pertama, Malam Putih (mula-mula oleh penerbit PD Mataram, kemudian diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka, 1981).  Korie kemudian menulis banyak sekali buku prosa dan kritik sastra.  Ini agak “menenggelamkan” eksistensinya sebagai penyair.

Seberapa pentingkah sosok Korie sebagai penyair dalam peta sastra Indonesia? Seberapa kuat puisi-puisinya? Ke arah mana puisi-puisinya berkembang? Tulisan ini, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.   Menurut Gunoto, puisi-puisi Korrie dibangun dengan bacaannya yang intens atas sajak-sajak – tentu saja – Umbu Landu Paranggi,  Goenawan Mohamad, dan Chairil Anwar.  Itulah tiga penyair yang paling disukai oleh Korrie.

 

III.

Pada tahu 1975 Korrie menebitkan buku puisi Cermin Sang Waktu.  Buku ini merangkum 34 puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1972-1975. Korie di sini tampak sedang mempertegas beberapa model pengucapan sajak-sajaknya. Sekilas bisa dilihat di buku ini Korie sedang berada antara dua pilihan.  Antara sajak-sajak imajis-liris dengan bahasa prismatik dan sajak-sajak imajis-surealis yang khaotik.

Kita baca dua sajak untuk menangkap kecenderungan sajak yang pertama.

SURAT

 Surat ini
Kembang merah dalam hijau
Di bibir danau


Surat ini

Bunga putih dalam biru
Mekar di dasar benua
 

Surat ini
Lukisan hari demi hari
Bisik riuh sukma kehidupan
Ke gigir telaga pualam

 
Surat ini
Untai kalung khatulistiwa
Yang terserak di antara kita
 Yogya, 1973

RAHASIA

 Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar keluar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar

 
Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
Jantung kita

 
Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu

 
Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama nama
Meniti buih demi buih
Jiwa kita
 

                             Yogyakarta, 1973. – Basis

Dua sajak ini berhasil menjadi sajak yang cukup kuat.  Pada sajak Surat  – dalam kesederhanaan dan kepadatannya – saya seperti menemukan sikap dasar Korie tentang puisi, posisi penyair terhadap dunia dan kehidupan, serta posisi penyair di tanah air.  Yang terakhir ini menarik: Surat ini / Untai kalung khatulistiwa / Yang terserak di antara kita. Surat (puisi) yang ia tulis ia niatkan untuk menjadi bagian dari untaian kalung khatulistiwa, yang ia pungut dari apa yang terserak, yang banyak sekali, yang terbiar tak teperhatikan, untuk menjadi apa yang berharga dalam untaian itu. Korie seperti ingin meyakinkan dirinya untuk tetap menjadi Korie.

Dan inilah model sajak-sajak awal Korrie. Ada repitisi yang menguatkan tubuh sajak, dan upaya penyandingan diri penyair dan alam yang  dihayatinya cukup intens. Sajak-sajak lain, Menunggu Malam di Sini, Sepasang Burung Burung, Sebuah Sel Gemerincing Kunci Kunci, Tarakan, Pintu,  dan beberpa sajak lain, ditulis Korie dengan model ini. Tapi, tampaknya gaya ini tak cukup memuaskannya. Pada bagian lagi di buku ini, kita kemudian menemukan Korie dengan eksperimen pengucapan yang sedikit mencoba berbeda, model sajak-sajaknya yang kedua.

SANG WAKTUPUN TERBANGUN

 Sang Waktupun terbangun dengan 100 matahari
Dan kucuran darah dari ngangan liang liang luka
Ketika ludah ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah kita yang terbakar

 
Sang Waktupun terbangun dengan 1000 bianglala
Dalam suara gaib lorong lorong hampa an bahana cahaya
Ketika kapal kapal kita pun merapat di dermaga luka
Di suatu petang entah di mana

 
Sang Waktupun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek Rahim jantung lukanya

 
Sang Waktupun terbangun dalam erangan ombak ombak dunia
Dalam baying bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang Waktupun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama nama
 

Yogya, 25 Desember 1973

Korrie adalah penyair yang selalu gelisah.  Penghayatannya atas hidup yang ia jalani jika ia tak kuat melawan arus, maka ia tenggelam dan berujung pada kesadaran situasi genting yang dihadapi manusia.   Dunia, kehidupan, kota, hakikat waktu, seringkali digambarkan dalam situasi murung, kacau, seperti sedang dilanda bencana, atau baru  saja lepas dari bencana.

Sang Waktu terbangun dengan 100 matahari / Dan kucuran darah dari nganga liang liang luka  / Ketika ludah ludah dunia yang amis / Jatuh rimis pada wajah wajah kita yang terbakar (Sang Waktupun Terbangun).

Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini / Serigala serigala melulung / Gagak gagak berteriak / Darah tetap mengucur dari luka demi luka / Kita tiba tiba pecah dan terserak dalam cermin wajah // (O, yang ada / Kita hanya berteriak “aduh!” dan meraba raba) (Cermin).

              Tetapi jika ia kuat mendayung rakit permenungannya, tahan hingga sampai ke hulu sungai kehidupan, maka ia akan sampai pada puisi yang menghamparkan kesadaran dan menawarkan kearifan.  Bagi pembaca di situlah makna puisi terpetik, yaitu ketika puisi menyediakan bahan untuk mempertanyakan  lagi soal benar-salah, baik-buruk, bagus-jelek, yang diyakini semula. Pertanyaan itu mungkin tak mengubah  apa-apa pada akhirnya, tapi ia  memulai sesuatu yang baru.

Sajak ini misalnya: Sebuah sel, gemerincing kunci-kunci / Mengatup dan mengangakan ruang ruang kemungkinan / Maut demi mautku / Dalam bisu bunyi bunyi. (Sebuah Sel, Gemerincing Kunci Kunci).  Tubuh, pikiran, wujud fisik, nilai-nilai yang dianut oleh Korrie dilihat sebagai sebuah sel, sebuah ruang sempit, kurungan, yang memenjarakan roh.  Kunci-kunci adalah kemungkinan-kemungkinan pintu mana yang bisa kita buka, dan dengan begitu terbebaskanlah satu bagian dari diri kita, dan kita biarkan bagian lagi terkurung nyaman di dalam selnya.

 

IV.

Tahun-tahun berikutnya, sayangnya, Korrie menikmati “ketenggelaman” permenungannya.  Tapi mungkin, lewat puisi, ia selalu melihat dunia yang apokaliptik. Sajak-sajaknya  seakan serangkaian laporan dari sebuah maharana. Sajak-sajak suram dan sisi dunia yang kelam. Sajak-sajak yang apokaliptik, di mana tuhan, malaikat, surga, peribadatan, tak dihadirkan dalam suasana yang sakral, tapi seakan kacau dan kehilangan makna.

Tahun itu bersama penyair Gunoto Saparie, Korrie  menerbitkan satu buku puisi yang menunjukkan arah perkembangan dan jejak kepenyairannya. Buku itu berjudul “Putih! Putih! Putih!” (Yogyakarta, 1976, stensilan). Buku ini menandai masa akhir periode Yogyakarta bagi Korie.  Korrie memuatkan 15 puisinya di buku ini. Gunoto Saparie juga 15 sajak. Judul buku diambil dari sajak Korrie. Kita baca sajaknya:

Ruh yang bebas dan pergi tak kembali
Meluncur lewat padang-padang purba meraih bintang-bintang
Tertinggal ujung sedu dan air mata panas
Lalu ruang Upacara: “Putih! Putih! Putih!”

 Adzan Waktu memanggil-Mu dengan salam akhir
O, Kota Leluhur, bangkit fajar dari Cinta
Riuh Pawai Kebesaran menyulut caya beribu caya
Kekasih! Kembali-pada-Mu jiwa yang telanjang jiwa

 Malaikat-malaikat pun membasuh wajah dari wangi bunga
O Jahwe, Sukma yang kuyup dalam derita menanti
Tersedu antara bilik dengan kitab dan lilin di kaki Ranjang Gusti

 
Engkau bersabda dan Engkau melambai beribu bidadari
Menunjuk keabadian. Dawai-dawai irama Kerajaan Sepi
Memanggil-Mu mendesak Hidup dari seluruh sisi.

 
Yogyakarta, 1976.-

Hampir seluruh sajak Korrie di buku ini bernada seperti sajak di atas: ia ingin merangkum dan merangkul keluasan kosmos ke dalam sajak-sajaknya. Dengan kata lain, Korrie meneruskan model sajak kedua di buku sebelumnya – sajak-sajaknya nan imajis-surealis , dengan selipan warna-warni religiositas Kristiani di sana-sini .  Petikan bait-bait sajak berikut ini mungkin cukup untuk mewakili:    

              Siksaan tak bertara dalam Cinta yang Kudus
              Kita bagai kelelawar pergi malam hari
              Berkendara Rokh memintas padang-padang Mustahak
              Membakar cadar bumi, melepas topeng-topeng mutlak.
                                                          (Kita Bagai Tawanan Berbaris dalam Wujud Semula)

Lama mati caya beribu caya. Pelita Padang Saat
segala mengertap pada gelap, bintang-bintang senjahari
Kampung-kampung murung, topeng sandiwara mati!

(Tenggarong, Kota Tua dalam Kabut Bergumpal Gumpal)

             

Kelam menghabus jejak-jejak kuda itu
              Sayup derapnya membusur cakrawala
              Siapa berdiri dalam ngungun Waktu, Engkaukah atau aku
              Merobek-robek nasib, menyulut nyala yang alpa.
                                                          (Nocturno)
             
Selamat jalan musafir. Tinggal gaung hingar bingar puisi
              melepas isyarat-isyarat itu. Ke nganga jurang-jurang bumi! 

                                                          (Silhuet)
 

              Korrie seperti selalu ingin berseru, mengingatkan bahwa hidup manusia, hidup siapa saja, tidak sedang baik-baik saja.  Ketenangan itu menipu. Kita senantiasa terancam.  Jika memakai garis Sapardi Djoko Damono – di mana ia meletakkan dua titik ekstrem: menjadi kanak-kanak yang bermain kata-kata di satu titik, dan menjadi nabi dengan kata sebagai sabda di titik lain, maka sajak-sajak Korrie berada di titik yang mengarah ke nabi itu.

 

V.

              Sekarang mari kita bicarakan buku  sajak-sajak Korrie pada buku “Sawan” (1978), yang sebenarnya sudah kita mulai di awal tulisan ini. Pada masa itu, bagi penyair baru, mencetak dan erbitkan buku puisi adalah kemewahan. Buku-buku puisi Korrie sebelumnya diterbitkan tidak secara komersial, tetapi dibantu oleh pemerintah, atau diusahakan secara swadaya, diperbanyak dengan stensil.  “Karena itu kami bikin buku puisi stensilan. Hanya sampulnya yang dicetak offset. Saya ingat waktu itu kami bersama melembur mengetik di kertas sheet. Kami benar-benar berjuang untuk mewujudkan buku itu. Biayanya patungan. Kami titipkan di Toko Buku Gunung Agung dan Kanisius, Yogyakarta,” kenang Gunoto.

Buku Sawan dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Kutai.  Bukunya dicetak bagus.  Dan puisinya terus berkembang.  Puisi-puisinya kini lebih tenang.  Ia menerima, hidup tetaplah berat, tapi ia mencoba berdamai dengan nasib (yang menyalib dengan tertib) dan Tuhan (yang menghadang dengan Derita).  Ia seakan menemukan jalannya: jalan lengang.

              Kutempuh jalan-jalan lengang, derita-Mu menghadang
              Demikian tertib Nasib menyalib
              Dari pusat hari-harimu yang rumit

               Kutempuh jalan-jalan sepi, Cinta mekar dalam bunga-bunga Sunyi
 
              Hidup berbeban juang, sepanjang tubir-tubir hari-hari yang garang
              Tak berdalih, antara derita dan ketawa
              Makna hidup ialan Cinta, gelepar-Mu yang menggemuruh di dada
 

                                                                       (Kutempuh Jalan-Jalan Lengang, 1974)
 

              Ketenanangan itu tampak jelas ketika ia kembali ke model sajak-sajaknya yang pertama, yang imajis-liris, yang sepenuhnya ia tinggalkan di “Putih! Putih! Putih!”.  Coba kita rasakan sajak – dengan aroma Sitor Situmorang dan Toto Sudarto Bachtiar – ini.

Kepalanya terbaring dalam awan
Mata diam terpejam
Di bawah lengkung alis yang kelam

Senyumnya merona pada pipi
Belai gadis dari mimpi
Hari pun mengangkat beribu kepak sayap-sayap merpati

Nafasnya aroma bunga-bunga
Kerlingan hari-hari jelita
Terminal kereta cinta

Jemarinya melambai hari
Kaki menapak padang bulan
Lampai tubuhnya tersiram wewangian

Di dadanya tertanam pohon-pohon harap
Pohon-pohon duka
Kelam kubur cinta

Di matanya dunia hijau
Senda gadis remaja
Seribu senja mengigau.

(Sajak, 1976)

              Puisi-puisi Korrie adalah puisi seorang penyair yang tak pernah berhenti mencari. Karena itu ia terus bekerja dan berjalan. Berpeluh.  Ia tidak berhenti.  Ia terus mencari puisi karena dia tahu itu adalah buah dari apa yang ditanam dengan tangan-tangan cinta kasih. Terminal, hanyalah tempat untuk meninggalkan “kekasih”, apa yang dicintai tapi mungkin tak selamanya harus ada bersamanya. Pada sajak terakhirnya di buku “Sawan” ia menulis: Melambailah tangan-tangan cinta yang menanam sajak-sajak penyair / Yang mengalirkannya sepanjang nadi lewat darah dan tetesan peluh / Selamat jalan kekasih: ini terminal akhir / Sambutlah buah kenangan: semaian ladang rindu dan tetesan keluh. (A  Revoir, 1977).

  

VI.

               Pada tahun 1981, Budaya Jaya dan Dewan Kesenian Jakarta menerbitkan kumpulan sajak terbaik Korrie Layun Rampan dalam buku “Suara Kesunyian”, sajak-sajak yang ia tulis dalam bentang waktu lima tahun, dari 1972 hingga 1977.  Korrie memilih sendiri sajak-sajak untuk buku ini dari buku-bukunya sebelumnya.  Karena itu buku ini bisa dilihat sebagai wajah kepenyairan Korrie sebagaimana ia ingin dipandang.  Buku ini seakan menandai selesainya satu babak, babak pertama, dari kepenyairan Korrie.  Selanjutnya lebih banyak terlibat dalam prosa. Dan kelak juga kembali ke puisi dengan gaya ucap dan tema yang berbeda. Ia makin religius dan banyak menggarap tema-tema lokal Kalimantan.

“Korrie memang tak puas dengan puisi-puisinya. Ia lalu lebih menekui prosa apalagi setelah H.B. Jassin memuji cerpen-cerpennya yang disebut-sebut menuri gaya Kafka,” kata Gunoto Saparie.

Beberapa sajak yang dibahas di atas terpilih masuk di buku “Suara Kesunyian”.  Sekali lagi Korrie sampai di titik ini, ingin pembaca melihat dan menilainya sebagia penyair dengan sajak-sajak yang ia pilih sendiri di buku ini.  Apa yang dicapai Korrie hanya bisa tercapai dengan bakat dan kerja keras. Dan Korrie menunjukkan itu.  Pada usia 24 tahun, di tahun 1977,  ia seusia Chairil Anwar ketika menuliskan sajak-sajaknya yang terbaik, Korrie juga mampu merangkul dan merangkum dunia dengan permenungan dan kematangan yang wajar. Ia memanfaatkan khazanah puisi Indonesia, membangun landasan perpuisiannya di atas khazanah itu, lalu melanjutkan dan sekalian menambah dan memperkayanya. Beberapa ekspesimennya mungkin tak terlalu berhasil.  Ia sendiri memang tak puas dengan sajak-sajaknya.

Korrie adalah sebuah kisah lagi, tentang bagaimana Yogyakarta menempa seorang pendatang dari Kalimantan menjadi penyair. Mula-mula ia menulis puisi. Tapi, Agus Noor  sastrawan yang juga mulai berproses di Yogyakarta, yang datang lebih kemudian, siapakah yang memulai dari puisi? Seno Gumira Adijarma juga awalnya menulis puisi.  “Saya juga awalnya menulis puisi.  Linus yang waktu itu menyarankan saya untuk menulis prosa,” kenang Agus Noor.

Perhitungan Linus begini: untuk menjadi penyair kuat, paling tidak seorang harus berjuang sepuluh tahun! Karena merebut tempat di antara penyair-penyair senior kala itu bukan perkara gampang.   Seperti Korrie, Agus Noor kemudian memang “menemukan” kekuatannya di prosa. Korrie bahkan menjadi salah satu prosais yang dikagumi Agus Noor. “Bukunya ‘Malam Putih’ itu luar biasa. Di awal-awal saya mulai serius mempelajari cerpen, Korrie salah satu yang saya  jadikan model,” kata Agus.

Persajakan Korrie, akhirnya, mungkin ingin saya rangkum dalam petikan dua bait sajak “Di Tengah Galau Riuh Rendah Abad Ini” (1974).  Buat saya ini bisa saya baca sebagai kredo, atau posisi Korrie dalam memaknai kehidupan di dalam sajak-sajaknya, dan menjadi titik tolak pembaca untuk masuk ke wilayah lengang daerah perpuisian Korrie.

Adalah semuanya berpulang pada Janji, kepada Sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait Abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi

 
Aku terbanting atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka

 
(1974)

 
 Pospengumben, 2017

 Bacaan:

  1.  Cermin Sang Waktu (Ruhui Rahayu, Samarinda, 1975)
  2. Putih! Putih! Putih! (15 Sajak, bersama Gunoto Saparie, Yogyakarta, edisi stensil, 1976)
  3. Sawan (Penerbit Puisi Indonesia, Jakarta, 1978)
  4. Suara Kesunyian (Budaya Jaya, Jakarta, 1981)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *