Puisi: Cicalengka – Doddi Ahmad Fauji (l. 1970)

Doddi Ahmad Fauji (l. 1970)
Cicalengka

Sebuah stasiun tua warisan Belanda, enggan berubah, enggan bertambah. Perniagaan bertumpu pada pabrik tahu dan panen tomat, sekalipun presiden berulang kali jatuh. Sampai juga akhirnya kau sadar, rakyat terpaksa membeli kucing dalam karung, hingga terpilih pemimpin paling lembek dalam sejarah Republik. Kawan, kau harus berkata-kata. Telingaku terbuka untuk semua luka. Katakan padaku mengapa yang tumpah selalu kesah. Mengapa presiden takut mati.

Tak ada yang fasih berucap. Protes yang keras bergaung di ruang kosong. Juga di suatu hari pada pukul 10 pagi, ketika orang-orang berkepala batu dari negeri api, yang menyemburkan asap hitam dari mulut dan telinga, berbanjar mengepung stasiun, mereka menaruh pergelangan tangan di atas rel. Sebuah lok yang memuat mayat-mayat busuk, melindas tangan sia-sia itu, yang terucap ialah euforia: “Horeee, lengan kita sudah buntung. Kini kita bisa jadi pengemis yang resmi. Jadi bala bagi para pendusta!“

Bersahutan orang-orang berkepala batu dari negeri api, tertatih-tatih tanpa lengan, menyeru dan mengajak serta zombie-zombie korban Lumpur Lapindo, serempak merangsek ke arah ibukota. Bertambahtambah para pengikut dari pelbagai pelosok. Setiap kampung beling yang dilintasi, mengutus perwakilan dengan biji mata yang telah dicongkel sebelah, daun telinga digunting separuh, batang kaki ditebas sampai betis, hingga menjelma manusia paling papa, lalu mengepung Istana dengan gemuruh pilu: Tuan kami belum makan, jangan beri kami peluru!

Telinga kuasa lebih sering alfa. Sekalipun sampai akhirnya, di suatu sore yang ranum oleh putus asa, seorang anak muda meloncat dari gerbong kereta ke arah moncong istana, lalu menulis puisi di tubuhnya dengan kobaran api. Jeda sesaat, hening sewaktu.Bermilyar kupu-kupu menari dalam kubangan haru, mewakili langit yang ikut berlutut. Anak-anak kambing mengembik di gurun tandus, lengkingannya diserap sunyi yang abadi, dan kicau burung-burung beri kesaksian tentang penguasa yang selalu meminta nyawa, selalu haus korban.

Kawan, penghuni istana tidak bergeming juga bukan, sekalipun nyawa-nyawa bergelimang di depan hidungnya. Mereka telah buta, tuli, dan bisu, dan tidak akan kembali pada sedia kala.

Jakarta, 2011

Sumber: Media Indonesia, 1 Februari 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *