Puisi: Peron Para Pedagang – Badruddin Emce (l. 1962)

Badruddin Emce (l. 1962)
Peron Para Pedagang

 

bagi S. Ratman Suras

Saat itu mentari masih suka
sentuhkan hangat murni tujuh pagi!

Lepaskan sorak lonjak, jika kereta yang ditunggu
di jauhan kepul asapnya mendadak tampak.

Panjang, jika pintu-pintunya dibuka,
segera rebutan orang Banjarpatoman
menaikkan barang kulakannya.

Sementara di peron itu juga,
turun orang Kroya yang kembali dari berdagang.

Juga nenekku.
Juga pembantu laki-lakinya
memikul pemberian orang Mlewong dan Gandrung
yang memesan jarit atau sarung:

Ubi talas, mlinjo, tak ketinggalan gadung.

Rupanya yang dulu suka berharap segera tiba waktu buka.
Alihkan lapar dengan berkejaran atau tiduran
dalam gerbong kosong,
tak juga tertarik tinggalkan desa
yang kerap kedodoran dengan baju kota.
Apa yang berat untuk dilupatinggalkan?

Adakah sedang mengingatkan,
cerita nenek dikejar begal jaritnya hampir tanggal?

Lalu terbelalak saat seorang duda tujuh anak
berjanji jadi suami yang bisa memahami.

“Ibu juga beranak tujuh!
Kenapa tidak?” Lamat-lamat di senthong belakang,
kakak tertua ibuku meledek.
Lalu nenek membuka warung di depan rumah ibuku.

Mungkin ingin hirup aroma desa-desa yang pernah disinggah.
Sering, beberapa hari menjelang puasa numpak dokar ke pasar.
Jika segala yang perlu telah didapat,
segera, bersama orang Banjarpatoman,
berdesakan menuju peron itu.

Peron yang tak sempat cerita banyak kepada para cucu:

Orang Kroya, juga nenekkku,
juga pembantu laki-lakinya,
akhirnya naik spur kluthuk ke barat, menyusul bulan puasa,
bulan di mana yang mendunia lebih diterima.

Peron yang kembali segar, jika ibuku coba berpanjanglebar
tentang beberapa malam menjelang lebaran:

Di dapur,
di tengah kerumunan rengek para cucu,
nenek terus menempapipihkan mlinjo
menjadi keping-keping emping!

Konon ada satu ditinggalkan nenek di rumah ibuku,
tapi aku tak bisa melihat wujudnya.

Mungkin wujud itu pernah menyentuhku,
membuatku tak kunjung merasa tua.

Tak menyadari, betapa kereta telah gonta-ganti warna.
Dan warna gonta-ganti makna!

Untuk yang satu itu,
pemuja ketenangan yang tak bisa guyonan,
tahunya adalah Dosa!

 

Kroya, 2007/2008

 

Sumber: Diksi Para Pendendam; Akar Indonesia, Yogyakarta; 2012)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *