Esai: Yamin, Puisi, Tradisi, dan Modern

Yamin, Puisi, Tradisi, dan Modern

Oleh Hasan Aspahani

SONETA di Italia lahir pada abad ke-12. Di Belanda kelompok Tachtiger atau angkatan ’80, menggemari bentuk itu, pada tahun 1880-an.

Muhammad Yamin, pada 1920 pasti berpikir ada yang baik pada bentuk sajak itu sehingga ia bisa bertahan 800 tahun dan terus berkembang, masuk ke pelajaran bahasa dan sastra di sekolah Hindia Belanda.

Yamin pun menulis soneta dalam bahasa Melayu. Sebelumnya, ia telah menulis sajak dalam bentuk lain dan diterima dengan baik. Ia fasih berbahasa Belanda. Ia membaca soneta dalam bahasa itu juga. Tidak ada yang memaksa dia untuk menulis dalam bahasa Melayu.

Yamin bereksperimen. Dan dia berhasil. Soneta setelah itu menjadi satu bentuk yang amat digemari. Dirasakan sebagai konvensi baru yang segar, dan modern.

Amir Hamzah pun menyanjung dan menandai kepeloporan Yamin bersama Roestam Effendi sebagai penganjur besar yang membawa zaman baru dalam kesusasteraan Indonesia.

Ia menjadi pelopor dalam memperkenalkan bentuk baru itu.

“Yaminlah orang pertama dan yang paling setia dengan bentuk soneta dalam karya-karya puisinya,” kata Sapardi Djoko Damono dalam wawancara dengan Tempo (18 Agustus 2014).

Eksperimen Yamin bukan tanpa risiko. Soneta bisa saja ditolak, sebab saat itu juga sedang digandrungi sajak-sajak dari India, terutama puisi-prosa ala Rabindranath Tagore.

Tapi, apakah benar itu modern? Bukankah ia berasal dari abad ke-12 nun di Italia sana? Apa batas dan terma tradisional dan modern? Apakah dengan “hanya” menulis soneta dalam bahasa Melayu lantas terjadi gelombang pembaharuan?

Bahasa dan sastra saling mempengaruhi. Maksud saya antarbahasa dan antarsastra dalam berbagai bahasa saling memberi dan mengambil pengaruh.

Haiku, sajak klasik cina, pantun, ratusan tahun kemudian, juga menginspirasi lahirnya gerakan imajis dan sajak imajis di Inggris pada awal abad ke-20.

Maka soneta yang dicoba oleh Yamin dalam bahasa Melayu kala itu adalah bentuk baru. Sebuah jalan menjadi modern. Ini bukan perkara bentuk formal, sajak tetap dengan aturan rima, metrum, dan prosodi. Ini soal apakah bahasa Melayu pun punya daya estetis – tak hanya untuk menulis syair dan pantun – ketika dipakai dalam bentuk yang terbukti mendunia ditulis dalam berbagai bahasa.

Eksperiman Yamin tak hanya menuntut kejelian atau kemampuan estetis tapi juga keberanian politis. Kala itu, bahkan menulis dalam bahasa Melayu, apapun temanya, bisa berarti sebuah perlawanan.

Sekali lagi tak ada yang memaksa Yamin menulis dalam bahasa Melayu. Jika mengejar popularitas sebagai penyair, ia bisa mengikuti jejak Noto Soeroto (1888-1951) yang menulis dalam bahasa Belanda dan menjadi penyair dari negeri jajahan yang sangat populer di Belanda.

Penguasa kolonial sedang berubah menjadi amat represif. Bahasa Melayu, kala itu, juga menjadi instrumen penguasa untuk mengontrol pikiran warga negara jajahan.

Yamin tak terlalu aktif terlibat dalam gerakan Pujangga Baru. Pada 1932, ia telah menjadi sarjana hukum dan sepenuhnya bergelut di bidang itu. Ia juga bergerak di politik. Soneta yang ia tulis diteruskan oleh penyair-penyair pada era itu.

Meskpun begitu Yamin tak pernah hilang kepercayaan pada puisi. Di sidang BPUPKI ketika merumuskan dasar negara Yamin pun sempat baca puisi di podium, menyertai pidato panjangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *