Esai: Beribu Baris Telah Ditulis – Oleh Taufiq Ismail

Beribu Baris Telah Ditulis
Oleh Taufiq Ismail

Di manakah sekarang puisi Indonesia berdiri, pada ketinggian berapa? Adakah busur-lingkar kakilangitnya makin melebar jauh, atau terhenti di sana tahun 49 ketika seorang penyair besar meninggal di Jakarta?

Beribu baris sajak telah ditulis, sejumlah antologi dan kumpulan diterbitkan, tapi semuanya membawa pertanyaan: cuma sekiankah dan (lebih penting lagi) hanya begini-begini sajakah?

Apakah kita tahu kemana kita pergi atau kita lanjutkan saja main-main dengan puisi ini?

Apakah hanya suatu peperangan memaksa kita menulis sajak, adakah cuma pembebasan dari penindasan menyebabkan kita menyair, apakah percintaan saja yang membuat kita bergairah menulis puisi?

Atau karena memang kita harus menulis puisi maka kita menulis puisi?

Seorang pejuang tua Irlandia, O’Leary berkata kepada Yeats, bahwa seorang penyair berbuat kejahatan besar kepada tanah-airnya bila ia mengarang sajak-sajak yang jelek. Tapi bukankah O’Leary juga menyebutkan kesetiaan kepada puisi?

Kita takut kepada eksperimen, kita ngeri pada impotensi, kita gamang kepada kesukaran-kesukaran penerbitan.

Kita mengada-ada dengan sajak-sajak “gelap”, karena rasa-rendah diri puisi yang tidak sanggup menuangkan bobot pengalaman itu tidak dimiliki karena pengalaman tidak dihayati, atau karena tidak ada yang dialami sama-sekali.

Kata-kata bersayap politisi dan slogan-slogan telah menghancurkan bahasa, demagogi dan singkatan-singkatan-kata telah mengauskan dan melucuti arti Kata dalam zaman panindasan yang ruwet.

Bisakah kiranya kini puisi muncul sebagai produk zamannya dengan semacam religiositas untuk memulihkan penyakit bahasa yang menahun ini, bila kesetiaan kepada puisi kabur? Bila kita tetap mengada-ada dan tidak tahu kemana akan pergi? Bila kita tidak tahu nilai-nilai apa yang telah dan akan kita jangkau?

Pada suatu pagi di jalanan kota Bukittinggi seorang anak penjaja meneriakkan koran Haluan delapan-belas tahun yang lalu. Ada berit tentang matinya seorang penyair, tentang iringan jenazah ke pemakamannya di bawah panas matahari Jakarta.

Seorang penyair yang setia kepada kepenyairannya, seorang pejuang yang menimba langsung nilai-nilai kehidupan getir dan mentransformirnya ke dalam puisi-puisinya, telah kembali ke hadratillah. Kita selalu ingat kesetiaan Chairil pada puisi dan keberaniannya menghadapi kehidupan.

Sumber: Horison, April 1967.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *