ADA musikalisasi, ada diskusi, ada juga stand up comedy dengan materi puisi. Begitulah cara komunitas pecinta puisi di Cirebon merayakan Hari Puisi Indonesia 2017, Sabtu (22/7), di Saung Juang, Cirebon.
Komunitas Kertas, Senja Sastra, Saung Juang Sabda Kopi melihat fenomena di mana di tengah gegap gempita kota, puisi terus bergerak ke tepi.
Puisi semakin berjarak dengan publik yang oleh para penyair sendiri kerap dituduh sebagai yang terlampau instan, material, sekaligus banal. Dan di sini, di kota yang berkeras ingin disebut sebagai kota wali ini, kesenjangan tersebut seakan takterjembatani. Jika kita sepakat bahwa puisi adalah semacam spiritualitas dari tubuh yang bernama peradaban, maka gerakan sastra mesti menolak kecenderungan-kecenderungan sastra yang kuper, introvert dan eksklusif.
“Karenanya, bagi kami, Peringatan Hari Puisi Indonesia 2017 ini menjadi semacam makrab. Bukan keakraban orang per orang dalam ruang publik, melainkan keakraban puisi dan publik di ruang kesadaran,” ujar mereka dalam rilis yang dikirim ke hari puisi. “Kami percaya, puisi sesekali menjadi apa yang oleh Octavio Paz sebut sebagai the other voice.”
Diyakini bahwa puisi senantiasa adalah refleksi dari dunia yang menyejarah. Untuk mempertegasnya, dalam momen Peringatan Hari Puisi Indonesia 2017 ini kami menyuguhkan diskusi puisi “Biduan Dangdut” karya Abdurahman M.
Dangdut adalah jenis musik yang sangat akrab dengan masyarakat Pantura. Kehidupan malam yang dipenuhsesaki oleh cengkok biduan dan alunan gendang itu pun menjadi bagian tak terpisahkan bagi sebagian masyarakatnya. Sekali ini, kami seakan hendak mengingatkan bahwa puisi bisa begitu dekat dengan siapa saja.
Sebagai penggenap acara, peringatan Hari Puisi Indonesia 2017 ini mengetengahkan juga sesi baca puisi, musikalisasi puisi, dan stand up puisi. Untuk yang terakhir, panitia mencoba memberikan sisi komedik dari puisi—bahwa bahkan puisi yang terkesan serius, angker, dan asketis itu pun berpotensi melahirkan gelak tawa.
Laporan: Faizal Sunnu, Cirebon.