Oleh Doddi Ahmad Fauji
POSTUR Rendra itu tinggi besar. Rajin latihan pernapasan ala Bangau Putih dari suhu Subur Rahardja. Tapi dalam urusan gertak-gertakan, rupaya Sutardji Calzoum Bachri tidak kalah abu.
Kisah ini, lagi-lagi dituturkan sahabat saya, Wan Anwar, yang kini sudah mangkat, pun Rendra. Semoga dua insan ini, beraih berkah dan magfirah. Aamiin.
“Mana Rendra!” suara lantang itu, dengan mata yang buncelik, meluncur dari penyair mantra SCB.
Kala itu, dalam Festival Penyair Internasional yang digagas WS Rendra, yang digelar di Kota Makassar.
Rendra datang dengan diikuti panitia yang lain. Para penyair dari dalam dan luar negeri, sedang menyantap makan malam dalam acara pembukaan festival itu.
“Ada apa Dji, jangan teriak-teriak,” tanya Rendra.
“Hei, kau yang bilang, kita tidak boleh tunduk ke orang asing. Kita harus berhenti membeli rumus mereka. Tapi apa nyatanya, hah? Kau inapkan mereka di hotel bintang lima, nah, aku kau inapkan di kandang kambing!”
“Sebentar, Dji. Ini masalah koordinasi. Panitia lokal sini kesulitan nyari hotel bintang 5 untuk semua tamu. Terpaksa kita dahulukan tamu dari luar.”
“Apa, panitia lokal? Hei, yang ngundang aku itu siapa?”
SCB mengeluarkan surat undangan.
“Lihat, Ren, siapa yang nandatangi surat ini. Kau Ren, kau!”
Kata SCB, dengan suara lantang, dan surat itu dipampangkan ke wajah Rendra.
“Dji, Dji, jangan teriak begitu. Malu kita!”
Walikota Makassar yang ikut hadir dalam gala dinner untuk para penyair tamu, mendengar suara itu, dan segera menghampiri dua jawara yang sedang berlaga. Setelah tahu duduk persoalannya, Walikota memanggil GM hotel bintang 5 itu, dan memohon sediakan kamar satu untuk SCB, bagaimana pun caranya.
Akhirnya ada tamu yang bersedia mengalah. Check out saat itu juga, dan tak usah bayar. Walikota yang memberesi semua soal.
Doddi Ahmad Fauji, penyair menetap di Bandung.