Anekdot: Komentar SCB dan Media Indonesia

Oleh Doddi Ahmad Fauji

BAGI saya, menyangkut urusan Taman Ismail Marzuki, SCB adalah salah satu patokan. Sekira tahun 2002, terjadi rebutan ketua Dewan Kesenian Jakarta, antara Ratna Sarumpaet Club, dengan Franky Sahilatua (alm). Maman S. Mahayana di kubu Ratna, sedang Ahmadun Yosi Herfanda di kubu Franky. Dua Batak berseteru, Betawi mah tetap jadi penonton.

Saya wartawan, jadi harus netral. Tapi harus ikut terlibat dalam suksesi pimpinan DKJ itu. Maka galeri pendapat dari para pakar patut diminta.

Saya telepon Bang Tardji. Rupanya sedang di Makassar.

“Lima menit lagi aku naik panggung,” kata suara di seberang.

“Tapi ini penting. Pendapat Abang lebih bernas dari nasihat Gubernur.”

“Wah kau ini kacau. Gini saja, kau ngarang saja. Sebut saja itu pendapatku.”

Giliran Bang Tardji yang kacau. Masa saya disuruh ngarang pendapatnya. Kalau benar, baguslah itu. Kalau provokatif dan memecah belah, nah siapa pula nanti yang kena getahnya? Kan, yang nyuruh ngarang yang bakal belepotan.

Mengarang pendapat Bang Tardji, dengan kalimat-kalimatnya yang khas, tentu tidak mudah, walau ini hanya untuk berita. Justru karena untuk berita, ini menjadi repot. Kalau mengarangkan puisi, mungkin saya masih siap, toh resikonya tidak terlalu besar.

Akhirnya saya berkonsultasi kepada Pemimpin Redaktur Laurens Tato (alm). Beliau bukan penyair, tapi catatan Editorial di koran Media Indonesia, senantiasa dipuji dan ditunggu pengagumnya, disebabkan selalu terasa puitis, fresh, mengandung daya dobrak, dan dengan larik-larik yang ritmik.

Begini saja, kau tulis saja, Wahai para seniman, kembalilah ke hati nurani. Nah, itu aman.

Jadilah itu berita, dengan mengutip pendapat SCB, tapi hasil saran dari Laurens Tato.

Besoknya, ada SMS masuk.

“Hei, kau jadi mengutip pendapatku?”

“Pendapat yang mana, Bang?” aku belaga pilon.

“Lah, kan kusuruh kau ngarang!”

“Jadi Bang, dan berkat pendapat Abang, hari ini tiras MI naik 3.000.”

Kira-kira setengah jam kemudian, SMS masuk lagi.

“Kau benar. Di Bandara Makassar, sebelum naik pesawat, kucari koran MI, semua lapak bilang sudah habis. Ini sekarang aku sudah di Puncak untuk acara MSSA. Kucari ke lima lapak, koran MI sudah habis.”

Penyair boleh tajam dalam mengamati kata. Tapi Bang Tardji berangkat dari Makassar ke Jakarta naik pesawat jam 6 pagi, padahal koran MI baru beredar pukul 11 siang di Makassar. Di Puncak, bisa saja tidak semua lapak koran menjual MI. Sudah menjadi rahasia umum di pedagang lapak koran, akan mengatakan habis, walau tidak menjual koran yang dicari pembeli

Doddi Ahmad Fauji, penyair tinggal di Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.