Esai: ISBN, Buku, dan Buah Apel

Oleh Maman S Mahayana

International Standard Book Number (ISBN) atau Nomor Standar Buku Internasional adalah pengindentikasian yang khas untuk buku-buku yang digunakan secara komersial. Sistem ISBN diciptakan di Britania Raya tahun 1966 oleh seorang pedagang buku dan alat-alat tulis, W.H. Smith. Awalnya disebut Standard Book Numbering (SBN) yang diterapkan sampai tahun 1974. Sistem ini diadopsi sebagai standar internasional ISO 2108 tahun 1970. Pengidentifikasian yang sejenis adalah International Standard Serial Number (ISSN) yang dipakai untuk publikasi periodik seperti majalah, jurnal, dan sebagainya. Pengajuan ISBN pada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), dan ISSN kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

ISBN ditujukan untuk penerbitan buku. Nomor ISBN tidak bisa digunakan sembarangan, karena diatur oleh lembaga internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Untuk memperoleh ISBN, siapapun dapat menghubungi perwakilan lembaga ISBN di tiap negara yang telah ditunjuk oleh lembaga internasional ISBN. Perwakilan lembaga internasional ISBN di Indonesia adalah PNRI sejak ditunjuknya lembaga resmi negara tersebut menjadi badan nasional ISBN untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1986. Kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) antara Internasional ISBN Agency dengan Perpustakaan Nasional RI untuk urusan ISBN ditandatangani pada tanggal 31 Maret 2005. Penerbit yang mengajukan permohonan ISBN harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

(1) Mengisi formulir surat pernyataan untuk penerbit baru yang belum pernah bergabung dalam keanggotaan ISBN;
(2) Menunjukkan bukti legalitas penerbit (akta notaris, surat keputusan, akta kesepakatan, atau surat-surat resmi yang dapat dipertanggungjawabkan);
(3) Membuat surat permohonan di atas kop surat resmi penerbit atau badan yang bertanggung jawab;
(4) Melampirkan halaman judul, halaman balik halaman judul, daftar isi, dan kata pengantar.

Permohonan dapat disampaikan melalui jasa pos, faksimili, e-mail, online, atau datang langsung ke PNRI tanpa dikenakan biaya. ISBN terdiri dari 10 digit nomor dengan urutan penulisan adalah kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi. Namun, mulai Januari 2007 penulisan ISBN mengalami perubahan mengikuti pola EAN (European Article Number), yaitu 13 digit nomor. Perbedaannya hanya terletak pada tiga digit nomor pertama ditambah 978. Jadi, penulisan ISBN 13 digit adalah 978-kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi.

Awalan ISBN untuk negara Indonesia adalah 979 dan 602. Contoh pola ISBN untuk buku-buku di Indonesia:

• 978-979-penerbit-kode buku-no identifikasi
• 978-602-penerbit-kode buku-no identifikasi
• 979-979-penerbit-kode buku-no identifikasi
• 979-602-penerbit-kode buku-no identifikasi

Untuk rujukan yang lebih lengkapnya, silakan lihat Prita Wulandari dan Ratna Gunarti (Peny.), Pedoman penyelenggaraan layanan ISBN, ISMN, KDT dan Barcode Perpustakaan Nasional RI, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2014. Begitulah keterangan yang ditulis Wikipedia Indonesia. Begitu pentingnya ISBN bagi penulis, penerbit, dan PNRI, maka kini proses pengajuan ISBN, dirancang semudah mungkin. Jika mengurus sendiri dengan datang ke PNRI, prosesnya berlangsung selama 15 menit. Jika melalui e-mail atau online, prosesnya memakan waktu lima hari kerja.

Lalu apa manfaatnya sebuah buku perlu menyertakan ISBN? Mengingat PNRI ditunjuk sebagai perwakilan lembaga internasional ISBN di Indonesia, maka PNRI tidak hanya bertugas memberi pelayanan bagi siapapun yang mengajukan permohonan ISBN, tetapi sekaligus juga mencatat dan menyebarkannya ke perwakilan lembaga internasional ISBN lainnya di seluruh dunia. Dengan demikian, sebuah buku yang memiliki ISBN, datanya otomatis menyebar ke mancanegara, meski buku tersebut diterbitkan secara indie di hutan belantara sekalipun.

Terlepas dari kualitas isinya, buku tersebut dapat ditempatkan sejajar dengan buku lain yang punya ISBN yang diterbitkan penerbit manapun di dunia. Buku itu seketika menjadi bagian dari buku-buku lain yang tercatat dengan standar internasional, karena punya legalitas yang diakui masyarakat perbukuan dunia. Perlu ditambahkan di sini, toko buku Gramedia –dan entah toko buku lainnya—menolak menjual buku-buku yang tidak punya ISBN, semata-mata lantaran perkara legalitas. Buku tanpa ISBN dianggap ilegal, oleh karena itu, isinya dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Di zaman yang segalanya serba digital, digitalisasi apa pun, terutama buku dan bahan cetak lainnya, tentu saja sungguh sangat penting. Meskipun begitu, hendaknya kita tidak buru-buru pula beranggapan, bahwa pencetakan buku sudah tidak penting lagi. Buku cetak, selain berada di jalurnya sendiri, juga memberi kesempatan bagi mereka yang belum akrab dengan kehidupan internet dan merasa belum nyaman membaca dari kotak gawai dan layar monitor.

Hal lain lagi yang perlu menjadi perhatian adalah peranan PNRI. Sebagai lembaga resmi yang ditunjuk untuk mengeluarkan ISBN, Perpusnas RI berkewajiban pula mengoleksi semua buku yang telah diberi ISBN. Di pihak lain, salah satu kewajiban penerbit yang mengajukan ISBN ke PNRI adalah mengirimkan 2-3 eksemplar contoh bukunya. Jadi, ketika buku tersebut terbit, penerbit -tanpa perlu diminta- wajib mengirimkannya ke PNRI. Pengiriman buku tersebut, selain untuk tujuan dokumentasi, juga memudahkan PNRI mengirimkan data tentang satu atau sejumlah buku yang memiliki ISBN, ketika ada seseorang, lembaga, atau institusi dalam dan luar negeri, bertanya atau mencari buku yang bersangkutan.

Mengingat PNRI yang mengeluarkan ISBN, maka -mestinya- semua buku yang memiliki ISBN, tersedia secara lengkap di PNRI, menjadi koleksinya, dan tercatat di buku besar koleksi PNRI. Jika penerbit tidak mengirimkan buku hasil terbitannya, jawabannya ada tiga kemungkinan:

(1) Penerbit itu, penerbit “abal-abal” yang tidak menghargai penulisnya;
(2) Penerbit itu, penerbit “jahanam” yang tidak tahu etika dan terlalu pelit mengeluarkan ongkos kirim;
(3) Penerbit itu, penerbit “siluman” yang produksinya cuma “fotokopian” kurang dari 10 eksemplar sebagaimana yang dipesan penulis atau pengarang bukunya sendiri. Jika itu yang terjadi, bagaimana mungkin buku itu bisa menjadi koleksi Perpusnas RI yang dapat diakses masyarakat dunia.

Coba, datanglah ke PNRI dan cari pengarang atau judul buku, maka akan muncullah apa yang kita cari. Jika tak mau repot dan ingin tetap duduk manis di depan layar komputer dan mencarinya lewat internet, cukuplah klik website resmi PNRI dan ikuti petunjuk yang ada, maka terpampanglah banyak pilihan. Tinggal kita klik buku atau referensi yang kita perlukan. Di sana, tersedia juga koleksi digital. Pertanyaannya, apakah semua buku yang memiliki ISBN sudah masuk koleksi digital? Tentu saja belum semua, tetapi, langkah digitalisasi semua koleksi PNRI terus dilakukan. Prioritas utama digitalisasi adalah buku-buku langka dan referensi penting. Biasanya, buku yang paling banyak dibaca atau dicari masyarakat, akan segera dilakukan digitalisasinya.

Nah, itulah dasar petimbangan, mengapa Yayasan Hari Puisi Indonesia mensyaratkan buku yang diseleksi untuk memperoleh penghargaan, wajib memiliki ISBN. Jadi, ISBN tidak ada kaitannya dengan predikat penyair dan kepenyairan. Ia semata-mata bermaksud agar buku apapun, terutama buku puisi yang terbit di Indonesia, dapat menjadi bagian dari warga masyarakat perbukuan dunia.

Begitulah, wahai hadirin pembaca yang mulia. Berbaik sangka, jauh lebih terhormat daripada berburuk duga, apalagi bersikap apriori lantaran “sindrom buah apel”.

Depok, 12 Maret 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *