Oleh Hasan Aspahani
Pure mathematics, in its way,
is the poetry of logical ideas
– Albert Einstein.
ADA yang menetapkan mutu – sebut saja menghukum puisi sebagai karya yang buruk – dengan kaidah logika. Ada yang berburu dan menuntut kehadiran pesan-pesan moral dan kandungan filosofis dalam puisi. Sebenarnya bagaimana hubungan logika, filsafat dan puisi? Esai ini berusaha untuk menelusuri dan mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Logika dan Pikiran
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berpikir. Akal manusia secara kodrati mampu bekerja dengan spontan menurut hukum-hukum logika. Air mendidih itu panas. Panas itu bisa membuat kulit melepuh. Melepuh itu sakit. Karena itu maka seseorang yang sehat pikirannya akan berhati-hati ketika menuangkan air yang mendidih dari teko ketika dia membuat kopi.
Tindakan berhati-hati agar tak tersiram air panas, untuk menghindari derita sakit pada bagian tubuh yang melepuh, dengan demikian adalah hasil dari berpikir logis, berpikir dengan logika.
Logika, dengan demikian, adalah kecakapan untuk berpikir dengan sehat, lurus, dan tepat. Dengan logika kita menalar, memakai hubungan sebab akibat agar sampai pada kesimpulan yang diterima akal, atau kesimpulan yang logis. Kemudian bertindak atau tidak bertindak, menerima atau menolak, sesuatu dengan benar berdasarkan kesimpulan tersebut.
Logika adalah filsafat praktis. Logika telah berkembang dan dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu, ilmu logika namanya. Logika ilmiah, yang dikembangkan dalam ilmu logika, yang membedakannya dengan logika kodrati, tidak mengurangi, bahkan memperkukuh sisi praktikal pada logika itu. Logika adalah wilayah di mana pikiran berurusan dengan pikiran. Logika membantu kita berpikir tentang bagaimana cara kita berpikir.
Logika dan Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, gabungan dari dua kata, philos dan sophia. Philos artinya kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi filsafat pada mulanya berarti: yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.
Logika adalah salah satu bidang dalam filsafat. Logika adalah salah satu bidang yang dipakai untuk berfilsafat. Logika dalam hal ini adalah seperangkat alat yang mempelajari asas, aturan, dan tata cara penalaran yang betul. Logika dengan demikian berfungsi sebagai alat untuk menguji dan menganalisa, atau analitika. Pengujian dengan logika itu ketika kita berfilsafat adalah perkara pokok.
Kenapa manusia berfilsafat? Pertama tentu karena kecenderungan kita mencintai pengetahuan dan kebijaksanaan. Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Empat hal itu mendorong manusia untuk berpikir, dengan logika, untuk mencari jawaban dan atau penjelasan.
Pikiran manusia umumnya dengan kuat mempunyai kecenderungan kepada: 1. Nilai kebenaran , yang memberikan pedoman dalam hal ketetapan tingkah laku; 2. Nilai keindahan, yang memberikan suasana ketenangan dalam perbuatan; dan 3. Nilai kebaikan, yang memberikan pedoman untuk mengukur apakah suatu tindakan itu berguna atau tidak.
Puisi dan Logika
Logika bekerja menyelidiki. Bagaimana jalannya penyelidikan logika itu? Yaitu dengan menguraikan unsur-unsur pemikiran. Apakah unsur-unsur pemikiran itu? Sebelum menjawabnya, perlu lekas dikatakan, bahwa di sinilah logika dan puisi bertemu dan berpisah, tetapi setiap saat bisa dipertemukan kembali. Unsur-unsur pemikiran dalam logika adalah pengertian (kata), keputusan (kalimat), dan penyimpulan (pembuktian).
Begitulah cara logika memandang dan memperlakukan bahasa sebagai alat dan wujud dari pikiran, terutama kata dan kalimat yang diposisikan sebagai unsur-unsur pemikiran. Di dalam logika, pengertian-pengertian (kata-kata) disusun menjadi keputusan (kalimat). Dan keputusan itu kemudian disusun sedemikian rupa menjadi penyimpulan (pembuktian).
Berpikir, dalam logika, adalah rangkaian tiga pokok kegiatan akal yaitu: Pertama, menangkap sesuatu sebagaimana adanya, yaitu menangkap sesuatu tanpa mengakui atau memungkirinya; Kedua memberikan keputusan yaitu menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain atau sebaliknya memungkiri hubungan itu; Ketiga, merundingkannya, atau menghubungakan keputusan-keputusan sehingga dari satu keputusan atau lebih, kita bisa sampai pada satu kesimpulan. Nah, logika, terutama membawa kita untuk sampai pada persoalan pokok yang nomor tiga itu, yaitu sampai pada suatu penyimpulan dan pembuktian.
Berpuisi masih dan harus berjalan seiring pada rangkaian pokok yang pertama itu. Penyair harus punya kemampuan dan kesadaran logika untuk memahami kata, baik dalam pengertiannya yang umum, maupun dalam kerangka pemahaman kerja logika, di mana kata adalah unsur pertama, yaitu sebagai pengertian, yang akan diolah dan dianalisa dalam dua rangkaian pokok berikutnya. Selanjutnya, menulis puisi menempuh jalan yang berbeda yang tak lagi harus bermuara pada pembuktian atau kesimpulan yang hanya cocok dengan logika.
Proses berpuisi atau menyair, yang menghasilkan teks puisi sebagai hasil karya puisi itu, menggunakan perangkat-perangkat khas yang memungkinkan puisi lahir, yang membuat kehadiran teks puisi dikenali sebagai puisi, dan karya uisi bisa dinilai keunggulannya sebagai sebuah karya seni, seni puisi.
Mari kita baca puisi berikut ini:
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu
biar aku yang menjaganya
(Sapardi Djoko Damono, “Akulah Si Telaga”, 1983)
Mula-mula, berangkat dari puisi di atas, harus dianggap bahwa penyair yang menuliskannya mengerti dan menguasai sepenuhnya setiap kata yang ia ucapkan dalam puisinya itu. Harus disyarakatkan pula bahwa pembaca yang hendak menikmati puisi itu juga mengerti dan menguasai kata-kata yang sama. Penyair dan pembaca harus mempunyai kemampuan berpikir dengan logika. Maka pengertian-pengertian tentang telaga, berlayar, perahu, bunga padma, harum, cahaya, seberang, menjaga, dan kata-kata lain adalah pengertian yang – dalam logika – disebut univok, satu suara ucapannya, satu cara untuk mengeja dan menuliskannya, dan satu artinya. Ini adalah langkah pertama penyelidikan dalam logika. Juga langkah pertama dalam memaknai puisi.
Seluruh bangunan teks puisi di atas adalah kiasan imajinatif. Memang, banyak bagian dalam puisi pendek ini yang masih bisa diselidiki dengan logika. Jika ada perahu melintas di atas sebuah telaga, maka akan tercipa riak-riak air. Jika ada riak-riak air maka riak air itu akan bergerak dan rumpun padma di tepi telaga itu akan bergoyang karenanya. Lantas, apakah perlu menyimpulkan bahwa perahulah yang menggerakkan bunga-bunga padma itu? Kesimpulan atau pembuktian logis itu tentu saja berguna bagi puisi. Itu adalah kesimpulan dengan silogisme yang benar, tetapi puisi tidak berurusan semata-mata dengan hal itu. Logika, yang ditaati atau diingkari, terpakai atau dimanfaatkan dengan sadar oleh penyair untuk menghadirkan imaji yang memperkuat bangunan teks sajaknya.
Aku dalam sajak di atas adalah sebuah telaga yang bicara kepada seseorang tak disebutkan dengan jelas siapa dia. Hubungan antara si aku sebagai telaga dengan dirinya sendiri pun tak jelas, atau tak lagi berupa sebuah keputusan yang logis. Terhadap dirinya sendiri pun, aku si telaga itu berjarak. Si telaga bisa melihat dirinya sebagaia dia yang lain. Maka, dia katakana, berlayarlah di atasnya. Dia tidak mengatakan berlayarlah di atasku karena yang ia tunjuk adalah dirinya sendiri. Di sini, logika tak lagi cukup. Perangkat-perangkat puitika telah diberdayakan. Ada personifikasi (telaga benda mati yang berkata seperti manusia), metafora (perahu, telaga, padma, adalah metafora yang bisa sangat luas pemaknaannya), sinestesia (mempertukarkan dua fungsi indera pada memandang harumnya cahaya).
Logika seakan ditinggalkan. Tetapi di dalam puisi kita juga harus menggunakan logika untuk menyimpulkan makna ketika sesuatu tampak tidak begitu jelas. Misalnya pada metafora: matanya adalah matahari. Kita tahu secara logika bahwa mata bukanlah sejenis benda luar angkasa yang menjadi pusat tata surya. Jelas bahwa mata adalah organ tubuh manusia dan bukan matahari. Tapi dalam puisi, metafora dimungkinkan untuk mengatakan mata yang sedemikian indahnya, sehingga bercahaya terang seperti matahari. Soal apalah itu metafora yang baik atau metafora yang buruk, tentu harus diselidiki dengan estetika. Tapi metafora itu sah dalam puisi.
Puisi dan Filsafat
Sudah disebutkan, tetapi perlu diulang lagi, bahwa logika adalah filsafat praktis. Logika adalah salah satu bidang yang dipakai dalam filsafat untuk menguji realitas. Kenapa manusia berfilsafat? Sudah pula disebutkan di atas bahwa manusia berfilsafat karena ia gemar pada kebijaksanaan dan pengetahuan. Tentang dirinya sendiri, manusia ingin bisa menjelaskan dan mendapatkan penjelasan. Karena itu manusia mengajukan pertanyaan, karena pertanyaan itu manusia menjadi berpikir. Karena harus berpikir maka manusia mengembangkan logika, yaitu cara berpikir lurus, tepat dan benar.
Ketika manusia merasa sudah mendapatkan kebenaran ada ancaman bahwa dia akan berhenti berpikir. Ia tidak bertanya lagi. Ia tidak mencari jawaban lagi. Di titik itulah filsafat mati, dan manusia berkurang kadar manusianya. Manusia tidak berpikir lagi. Logika menjadi alat penyumbat yang meligitimasi kebenaran yang dianggap sudah didapatkan.
Pada situasi dan dengan tantangan itulah puisi – yang bersatu dengan filsafat – mengambil perannya. Puisi bisa sampai pada suatu kesimpulan tapi ia tak berhenti pada satu kesimpulan. Ia menawarkan ambiguitas. Ia meragukan apa-apa yang telah pasti, apalagi yang memang belum pasti. Puisi dengan caranya membangkitkan ketakjuban pada hal-hal yang kecil apalagi hal-hal besar. Puisi mengajak untuk menggugat rasa puas pada hidup, puisi membuka mata pada kita untuk memberi makna pada apa yang tampak tak berarti apa-apa, puisi membangkitkan hasrat untuk bertanya dan mempertanyakan apa saja lebih jauh, dan puisi dengan caranya menggugat apa-apa yang kita yakini, dan puisi akhirnya membuka jalan bagi kita untuk memahami diri kita sendiri, makhluk hidup lain, benda-benda, dan bahkan juga Tuhan.
Puisi, logika, dan filsafat, adalah tiga disiplin yang berbeda, punya dunianya sendiri, tetapi pada banyak hal ketiganya bisa saling dukung. Karena itu semuanya harus kita rangkul sebagai tiga hal bisa saling menjelaskan, saling memanfaatkan, saling membantu, saling menginspirasi. Penyair dan puisi, yang bekerja dan dihasilkan dengan kesadaran itu, adalah penyair yang bisa memberikan sumbangan kebijaksaaan pada manusia, sebagaimana bisa diharapkan dari filsafat, membantu mendobrak dogma dan mengajukan pertanyaan yang tepat untuk dipikirkan dan sampai pada jawaban yang tepat sebagai mana diajarkan oleh logika.
Matematika jelas hanya bisa hidup dalam lingkungan dengan logika yang ketat. Tetapi kerja matematika sesungguhnya adalah kerja filsafat, yaitu membawa manusia cinta dan bersahabat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dengan cara pandang seperti itu, gagagasan-gagasan logis dalam matematika, yang membawa manusia pada pengetahuan, kebijaksanaan, dan tak henti-hentinya membangkitkan pertanyaan, di mata seorang, sebagaimana kita kutip dari Albert Einstein di awal tulisan ini adalah sejenis puisi juga.
Dari seorang Einstein juga kita mendapatkan aforisme lain: Logic will get you from A to Z; imagination will get you everywhere. Kita tahu, puisi, sebagai mana fiksi, adalah strukturisasi dari pengalaman (baca: pengetahuan) yang bermain di wilayah logika, imajinasi, dan nilai-nilai hidup yang dianut oleh penyairnya, yang salah satunya pemahaman filsafat.
Jakarta, April 2018.
Bacaan:
- Lanur, Alex, OFM; Logika Selayang Pandang; Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1983.
- 2. Suhartono, Suparlan. PhD; Dasar-Dasar Filsafat, Pendahuluan: Manusia seabgai Makhluk Berpikir; diakses pada situs www.academia.edu.