Esai: Pantun, Akar Puisi Liris Indonesia

Pantun: Akar Puisi Liris Indonesia

Oleh Hasan Aspahani

PANTUN kini bertahan sebagai pantun jenaka. Sekadar untuk lucu-lucuan, pembangun suasana gembira. Pantun kini setiap kali dilisankan, sebaris demi sebaris, disambut dengan seruan ‘cakep!’.

Padahal pantun jenaka hanyalah salah satu dari beberapa jenis pantun yang dibedakan berdasarkan tema. Ada pantun berkasih-kasihan, pantun perantauan, pantun nasihat, dan lain-lain, segala situasi dan kebutuhan yang mendorong orang untuk menggubah pantun.

Dengan bentuknya yang tetap, pantun memang seharusnya dengan lentur bisa dikembangkan ke dalam berbagai tema. Pantun politik, misalnya. Atau tema-tema lain. Penyair Rendra pernah menggubah pantun reformasi.

Amir Hamzah (dalam “Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya”, 1942) menyebutkan pantun – bersama hikayat – sebagai produk dari sastra Melayu Lama zaman klasik dan pertengahan.

Hikayat adalah tuturan naratif, bisa dituliskan dalam bentuk tetap (syair) atau prosa dengan bentuk bebas. Temanya cenderung didaktis atau historis. Sastra sebagai sarana pendidikan (nasihat, adab, atur-cara raja-raja) dan pencatatan sejarah diadopsi dari tradisi sastra Arab, yang banyak dibawa oleh pedagang-ulama pada masa sastra Melayu Lama pada era klasik dan pertengahan. Zaman baru, kata Amir, menghasilkan roman dan sanjak. Ia belum memakai istilah ‘puisi’.

Pantun berkembang di tengah rakyat banyak. Tak ada penyakralan atas bentuk ini. Ia  sastra yang lahir dari masyarakat yang egaliter. Siapa saja boleh berpantun, siapa saja bebas menggubah pantun. Tapi sebagai seni ia tentu bisa memberi jalan penapis siapa yang punya bakat sebagai pemantun yang mahir, siapa yang hanya semenjana.

Ada sementara kalangan kita yang suka mencemaskan dominasi perkembangan sajak liris di Indonesia. Tentu saja siapa saja boleh mencemaskan apa saja. Juga tak ada larangan bagi siapa saja untuk menulis bentuk sajak apa saja. Saya setuju untuk ikut cemas apabila sajak liris yang hadir hanya sebagai penyinambungan dan pengulangan, sama sekali tak memawa pembaharuan atau perubahan.

Kenapa sajak liris begitu populer? Saya kira karena ia dekat dengan pantun. Karena itu ia sebenarnya menyinambungkan sebagian dari tradisi pantun kita, dan pada bagian lain mengubah dan memperbaharuinya.

Pada awalnya sajak liris dibedakan dengan sajak naratif dan sajak dramatik. Apakah sajak liris itu? Saya memakai definisi sederhana ini: sajak yang mengekspresikan emosi atau perasaan personal seseorang. Ciri-cirinya? Kaya dengan bunyi dan rima, biasanya pendek, dan memberdayakan metrum (sebelum bentuk bebas menjadi lebih diminati).  

Sapardi Djoko Damono merumuskan: untuk menuliskan sajak liris yang baik, penyair harus cermat mengamati dan mencatat perasaan-perasaan sendiri dan peristiwa-peristiwa di alam sekitarnya (“Keremang-remangan Suatu Gaya”, 1999).  

Ketika Victor Hugo pada 1829 menerjemahkan sejumlah pantun Melayu ke dalam bahasa Prancis maka para penyair Eropa menerima itu sebagai bentuk lain dari sajak liris, dengan rima, musik, dan metrum yang memang serupa. Charles Baudelaire pun kemudian ikut menulis puisi liris dalam bentuk pantun.  

Seorang penggubah pantun memang bekerja seperti seorang penulis sajak liris. Keduanya, seperti kata Sapardi di atas, harus cermat merumuskan pikirannya dan perasaannya (untuk dituangkan sebagai isi), dan cermat mengamati alam (untuk dijadikan sampiran). Pantun ini mungkin bisa jadi contoh:

Riuh rendah di tepi teluk
Lihat orang duduk bertenun
Tengah malam ayam berkokok
Serasa tuan datang membangun

Yang disampaikan pada bagian isi pantun yang dikutip oleh Amir Hamzah dari khazanah pantun lama ini adalah rasa rindu yang sedemikian parah dari seseorang kepada seorang lain, sehingga ayam berkokok pun serasa sebagai suara sang kekasih yang membangunkan. Ada kiasan atau simile di sini. Ada kontras antara keriuhan di larik-larik sampiran dan kesunyian malam di baris isi. Bukankah dengan demikian pantun lama ini  –  abaikan anonimitasnya  –  sesungguhnya adalah sajak liris yang memenuhi ukuran sajak modern?

Dalam sejarah puisi Indonesia, sajak liris (dalam bentuk soneta, dan kemudian sajak-sajak bebas) seakan-akan datang sebagai sebuah pembaharuan, perlawanan terhadap sajak lama, termasuk pantun.  Saya kira ini perlu juga dikoreksi. Bukankah soneta dan pantun di Eropa sana sama-sama diakui sebagai varian bentuk dari sajak liris? Dengan memperbaiki cara pandang dan mendudukkan pantun dengan cara demikian, maka kita misalnya bisa memahami kenapa sajak liris menjadi sedemikian populernya di Indonesia ini, yaitu karena pantun memang lahir dari masyarakat dan bahasa Melayu, bahasa yang kemudian kita kembangkan bersama-sama menjadi bahasa Indonesia.

* Hasan Aspahani adalah penyair dan pengelola situs www.haripuisi.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *