Oleh Sofyan RH. Zaid
“Saya menghargai puisi dan penghargaan itu layak baginya,
di zaman sekarang atau di segala zaman,
sebab kebenarannya di hadapan hidup,
serta dalam setiap makna yang dikandungnya.”
– Seamus Heaney
DULU, saya sangat kecewa ketika membaca sajak yang buruk dan sangat girang ketika membaca sajak yang baik. Bagi saya, sajak yang buruk adalah virus, atau semacam mimpi buruk, di mana saya ingin cepat bangun dan berakhir. Sementara sajak yang baik merupakan vitamin, atau semacam tempat wisata yang indah, di mana saya ingin berlama-lama dan menikmatinya.
Namun belakangan, saya mulai bertobat. Bagi saya, sajak buruk dan sajak baik adalah sama saja, selama ditulis dengan fokus dan serius. Ketika membaca sajak, saya tidak lagi berharap sajak yang saya baca itu bagus, atau takut sajak yang saya baca itu buruk. Saya kira, Borges benar, bahwa membaca lebih penting daripada menulis, sebab tanpa pembacaan, peradaban dan kebudayaan akan menuju zaman kegelapan literasi lagi.
Sebagai pembaca, saya seperti seorang petapa yang mendapat cahaya pencerahan, bahwa setiap penyair yang menulis sajak adalah orang yang berbeda. Berbeda dalam hal selera, standar estetika dan alat bahasa yang digunakan. Keberbedaan tersebut secara otomatis juga melahirkan sajak yang berbeda cita rasanya. Itu kenapa saya tidak bisa lagi membaca dan menilai sajak yang saya baca dari satu kacamata saja: baik atau buruk.
Barangkali dari sinilah peran penting dan latar belakang lahirnya ilmu kritik sastra. Ada banyak teori pendekatan yang bisa digunakan untuk menilai sebuah sajak. Sebagaimana keyakinan Aveling, bahwa adanya kritik sastra sebagai lilin yang menerangi keberadaan karya sastra, bukanlah api yang membakar dan menghanguskan.
Dalam ilmu kritik sastra, etika pertama seorang kritikus adalah punya perasaan dan pikiran yang adil dalam menilai. Mampu menunjukkan sisi ‘lemah dan lebih’ sebuah sajak berdasarkan pendekatan yang digunakan secara objektif dan seimbang. Seorang kritikus harus mampu menjauh dari ‘pujian dan cacian’ yang bersifat subjektif. Tidak boleh ada istilah kritik sastra pesanan atau ‘kritik sastra udang di balik batu’. Etika selanjutnya seorang kritikus adalah ketekunan yang berpijak pada kesabaran dan ketelatenan dalam membaca, mendalami, dan menim(b)ang.
Lantas bagaimana dengan orang yang menilai sebuah sajak tanpa pendekatan? Tidak masalah, itu namanya ‘apresiator’. Semacam memberi catatan kaki atau komentar seorang pembaca pada sebuah sajak yang dibaca. Seorang apresiator tidak butuh disiplin ilmu kritik sastra dalam menilai sebuah sajak, tapi apresiator juga tetap punya etika yang harus diperhatikan. Seorang apresiator, tidak akan menghakimi sebuah sajak secara ‘membabi buta’. Ingat Van Kan, seseorang tidak bisa menjadi hakim tanpa ilmu hukum, bukan?
Kemudian seorang apresiator tidak selalu menggunakan selera pribadi untuk menyukai atau tidak menyukai sebuah sajak. Pada level ini, kritikus dan apresiator bisa berjalan berdampingan. Bahkan, Bradley percaya bahwa apresiator bisa lebih penting dari kritikus ketika dia mampu membuat pendekatan lain di luar disiplin ilmu kritik yang sudah baku, dan itu sesuatu menarik. Apresiator bisa menjadi pembanding kritikus, atau bahkan bisa bertanding secara sportif.
Dulu, saya sangat kecewa ketika membaca sajak yang buruk dan sangat girang ketika membaca sajak yang baik. Bagi saya, sajak yang buruk adalah virus, atau semacam mimpi buruk, di mana saya ingin cepat bangun dan berakhir. Sementara sajak yang baik merupakan vitamin, atau semacam tempat wisata yang indah, di mana saya ingin berlama-lama dan menikmatinya.
Kini dalam pertobatan sebagai seorang pembaca; saya tidak bisa menjadi kritikus pesanan, saya juga tidak mau menjadi apresiator yang egois. Karena saya takut, jika ternyata sajak baik dan sajak buruk yang saya baca, sama-sama ditulis dengan darah, cinta atau nama Tuhan oleh penyairnya. Itulah sebabnya, bagi saya, sajak buruk dan sajak baik sama saja, selama ditulis oleh penyairnya dengan fokus dan serius. Fokus dalam belajar dan serius dalam berproses kreatif. Tidak pernah merasa telah ‘jadi’, melainkan terus-menerus ‘menjadi’.
Kiranya Abu Bakar benar, kalau ilmu itu nomor dua, nomor satunya adalah etika. Saya akan terus mengingat kalimat ini sampai saya lupa caranya melupakan.
Jakarta, 06 April 2016-2017
Sore hari masih dicerahkan dengan esai ini. Teriakasih banyak mas Sofyan.
Sama-sama…salam