Kenapa Kita Menulis Puisi? (2)
Potensi Puitis Bahasa Melayu dan Kultur Estetis Orang Melayu
Oleh Hasan Aspahani
WILLIAM Marsden (1754-1836) seorang Inggris pernah berdiam di Sumatera dan menjelajah pulau ini, sebelum ia meninggalkannya pada 1779. Ia menulis buku “History of Sumatera” yang terbit 1783. Linguistik adalah keahliannya dan aspek ini menjadi ketertarikannya. Di bukunya kita mendapatkan kesaksian beberapa menarik tentang Bahasa Melayu.
Ia menulis bahwa Bahasa Melayu saat itu telah menjadi lingua franca di sepanjang kawasan pantai Sumatera dan dimengerti oleh penduduk di hampir seluruh pulau. Bahasa ini dinilai sangat tinggi dengan bunyi yang halus dan manis.
“…sehingga memperoleh julukan ‘Bahasa Italianya Orang Timur’,” tulis Marsden. Julukan itu merujuk pada banyaknya vokal dan bunyi cair dalam kata-kata dan jarangnya kombinasi yang tidak padu antara konsonan yang tak bersuara.
Pengamatan penting dari Marsden adalah ketika ia mencatat bahwa dengan karakter bahasa yang demikian itu maka bahasa Melayu cocok dipakai untuk merangkai puisi yang ia saksikan kala itu sangat digandrungi oleh kaum Melayu.
Bahasa Melayu yang disaksikan Marsden pada pertengahan menuju akhir abad ke-18 itu tentulah hasil dari sebuah proses panjang. Bahasa itu telah sejauh itu telah berkembang menjadi bahasa yang memungkinkan dia menjadi bahasa ekspresi estetis.
Potensi bunyi pada kata-kata, panjang-pendek kata, membuat pantun dan syair (yang diserap dari khazanah puitika Parsi) dengan timbangan metrum, prosodi, dan rimanya, menjadi sangat produktif dan hidup.
Saya meyakini pantun yang kita pahami hari ini berkembang sebagai tradisi lisan, saat itu juga tuliskan mengingat sudah berkembang penulisan dengan huruf Arab yang sudah dimodifikasi untuk keperluan bunyi dalam bahasa Melayu. Marsden mencatat bagaimana orang Melayu membuat tinta dari jelaga yang dicampur putih telur dan alat tulis dari ranting enau. Sebuah teknologi yang tak rumit.
Akan tetapi pantun juga berkembang pesat dan berkembang karena ia dinyanyikan. Marsden mencatat pada waktu senggang dan pada sebagian besar waktu orang Melayu suka menghibur diri dengan bernyanyi, dengan nada irama berulang-ulang. Yang mereka nyanyikan itu biasanya adalah pantun yang sudah populer pada masa itu atau peribahasa dan ungkapan yang menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.
Salah satu pantun yang didengar dan dicatat oleh Marsden adalah ini:
Apa guna pasang pelita
Kalau tidak dengan sumbunya
Apa guna bermain mata
kalau tidak dengan sungguhnya
Ini adalah contoh pantun yang sempurna dengan rima dan pembagian larik sampiran dan isi, pengamatan pada peristiwa kehidupan aktual dan pernyataan perasaan.
Masyarakat pada waktku itu tentu saja memakai pelita sebagai alat penerangan. Sampiran itu sendiri sudah bisa menjadi sebagai sebuah larik mandiri yang bermakna atau bisa dimaknai, bukan sekadar larik figuratif pengantar isi. Tambahan pada dua larik isi, yang berisi pesan, ekspresi, gagasan, menjadikan keseluruhan pantun itu lengkap.
Estetika pantun dan puitika pantun adalah bagaimana si penggubah membangun hubungan antara kedua bagian itu, sampiran dan isi itu. Rima pada pantun memang terasa figuratif (terutama pada puisi yang cacat) tapi ia seharunya menjadi perangkat puitika juga sangat fungsional. Pantun adalah disiplin estetis yang ketat. Menuntut kepaduan bentuk dan isi.
Marsden terpesona pada itu. Ia mencoba menuliskannya. Saya membayangkan ia belajar dan seorang yang ahli berpantun. Mula-mula ia menentukan apa yang hendak ia pantunkan. Menentukan tema: dialog antara seseorang dengan selingkuhannya yang kaya dan malu-malu.
Hasilnya? Sayang Marsden tak menuliskan dalam bukunya. Tapi ia katakan, ekspresinya dinilai cukup tepat dan khas dalam taraf tertentu. Beberapa kalangan menerimanya dengan cukup baik. “.. tetapi seseorang wanita tua yang merupakan kritikus yang lebih jeli berkomentar bahwa pantun itu hanya berupa kata-kata saja dan tidak mengandung ekspresi figuratif dan unik…,” ujar Marsden.
Potenti puitik, seperti pengucapan tak langsung dengan perumpamaan, simile, atau metafora, pada bahasa Melayu juga dicatat Marsden dalam percakapan sehari-hari masyarakat Melayu. Misalnya, terhadap perempuan yang hamil sebelum menikah orang menyebut “muncul buah sebelum bunga”.
Atau ketika mengomentari kematian seseorang maka komentar puitis, bermakna, berisi nasihat pengingat pada yang hidup, yang diucapkan orang Melayu adalah: yang mati, mati. Yang hidup, bekerja. Kalau sampai waktunya, apa boleh buat?”
Tradisi berpuisi kita lahir dan tumbuh karena bahasa Melayu punya potensi puitik, juga karena masyarakat Melayu memiliki kultur yang mengembangkan ekspresi puitik dalam waktu senggang, dalam situasi khusus, juga dalam kehidupan sehari-hari. (bersambung)