Esai: Puisi, Pemikiran dan Perasaan

Puisi: Pemikiran dan Perasaan
Oleh Hasan Aspahani

APA yang membuat kita tertarik masuk ke dalam puisi? Lalu asyik menelurusi lekuk liku kata-kata yang digubah oleh penyairnya? Keterharuan! Ketersentuhan emosi.

Karena itu puisi yang hanya menghamparkan pernyatan berisi konsep atau rumusan kering, jargon kaku, slogan-slogan klise bahkan basi tak akan memikat pembaca. Seperti menelan makanan kering yang belum terkunyah dengan baik. Seret.

Rumusan filosofis, kalimat yang menyublim memutiarakan satu nilai kebenaran bukannya tak perlu. Ia bahkan penting sebagai tohokan, jangkar dalam ingatan pembaca yang membuat puisi bsia melekat dalam ingatan.

“Hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil Anwar dalam “Derai-Derai Cemara” (1949).

Pada sajak “Tuti Artic” (1947) ia bilang, “cinta adalah bahaya yang lekas pudar!”

Frasa-frasa itu begitu mudah kekal dalam ingatan kita. Sesekali ketika terlintas, kita tergerak untuk membaca lagi sajaknya.

Kita percaya kandungan pernyataan itu benar dan setuju dengan apa yang dirumuskan oleh Chairil itu. Lalu apa yang membuat dua kutipan sajak Chairil itu, sekadar contoh dari sekian banyak kalimat kuat dalam sajaknya, menjadi nempel dalam ingatan? Keterharuan.

Di sisi lain, kita merasa kita pun sudah lama tahu soal itu tapi Chairil menemukan atau menciptakan cara mengucapkan kebenaran itu. Chairil mewakili kita.

Penyataan itu tak jadi kalimat klise, ia juga tak jadi larik yang kering menjadi bagian dalam bangunan sajak yang dengan terukur ditenagai oleh emosi yang cukup. Sajak itu berhasil melibatkan perasaan kita ketika membacanya.

Dalam sajak yang demikian ada bagian misterius bagi akal yang menggoda kita untuk memasukinya dengan intuisi, dengan perasaan kita. Ada satu suasana khas yang terbangun dan kita gandrung dengannya.

Tugas penyair adalah menyeimbangkan pelibatan dua hal itu: pikiran dan perasaan, permenungan dan keterharuan. Kata yang dipilih, ungkapan yang diciptakan, kiasan atau perbandingan yang dihadirkan, harus jalin menjalin, saling menjaga, memberi ruang, mengutuhkan seluruh unsur persajakan yang dipilih untuk diberdayakan dalam puisi kita.

Jakarta, 7 Juni 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *