Penyair: Saini K.M., Guru Penyair di Sebelah Barat

Oleh Dedy Tri Riyadi

DATANGLAH ke Bandung dan kunjungilah Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Jalan Dipati Ukur No. 48. Di sana Anda akan menemukan puisi yang diterakan pada dinding luar monumen yang diresmikan tahun 1995 itu.

Puisi itu berbunyi:

Bumi yang diberkati, langit yang dirahmati
Adalah milikmu: warisan dari para leluhur
Yang mengolahnya dengan kerja, dengan doa.
Negeri yang dinyanyikan angin di daun bambu
Tempat senyum merekah alami dan gelak tawa
Bagai derai air jernih di antara batu-batu
Adalah pusaka: Dibatasi padang Si Awat-awat
Dijaga Gunung Salak, dilindungi Tangkuban Prahu.

Ada juga puisi lainnya di sana:

Orang muda, kini giliranmu telah tiba
Untuk menerima anugerah sejarah.
Rapatkan barisan, langkah tegap ke depan;
Dengan karuniaNya sepanjang jalur jejakmu
Impian demi impian akan terwujud.
Julang panji, kibarkan bagi segala taufan.
Karena di bahumu akan diletakkan fajar
Bagi cakrawala baru, bagi zaman yang besar.

Puisi-puisi tersebut adalah karya Saini K.M., yang dikelompokkan dalam Sastra Indonesia sebagai penyair angkatan 70-an. Sejatinya, puisi itu ditulis dalam Bahasa Sunda oleh penyair bernama asli Saini Kosim, kelahiran Sumedang, 16 Juni 1938.

Minatnya pada sastra dan teater sangat terlihat semenjak beliau kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, IKIP Bandung.

Saini KM

Dalam penilaian Agus R. Sardjono, Saini K.M. memasuki sastra Indonesia melalui jalur yang relatif berbeda dengan para penyair terkemuk segenerasinya. Dia tidak melalui pusat-pusat yang lazim pada masa itu: TIM dan majalah sastra Horison.

Hanya sesekali sajaknya muncul di Siasat Baru, Budaya Jaya, Pustaka Budaya, Budaya (Jakarta), Basis (Yogyakarta),  dan Gelora (Surabaya). “Itupun di masa mudanya saja,” kata Agus R. Sardjono dalam kata penutup buku Nyanyian Tanah Air (Grasindo, 2000).

Nama besar Saini K.M. sebagai penyair justru terbina lebih banyak lewat ketekunannya membina penyair muda. Boleh dikatakan, jika saja Saini K.M. tidak mengampu rubrik Pertemuan Kecil di Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung dari tahun 1976 sampai dengan 1996, Sastra Indonesia belum tentu mengenal nama-nama seperti Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Juniarso Ridwan, Nirwan Dewanto, Agus R. Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Nenden Lilis Aisyah, Ook Nugroho, Ahda Imran, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan lainnya.

Ulasannya tentang puisi karya penyair muda yang dimuat harian Pikiran Rakyat itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Puisi dan Beberapa Masalahnya (Penerbit ITB, 1993).  Saini mendapat Anugerah Sastra dari Yayasan Forum Sastra Bandung pada tahun 1995 untuk kegigihannya membina para penyair muda.

Ketekunan Saini K.M. memberi ulasan mengenai kelebihan dan kelemahan dari puisi-puisi para penyair yang diterbitkan rubrik sastra Pikiran Rakyat itu membuat banyak orang menganggap beliau sama seperti Umbu Landu Paranggi, yang disebut sebagai guru bagi penyair-penyair terkemuka di Indonesia seperti Emha Ainun Najib, mendiang Linus Suryadi Ag., Imam Budhi Santoso, Warih Wiratsana, Oka Rusmini, Wayan Sunarta dan lain-lain.

Saini K.M. tidak melulu berkutat dengan puisi. Beliau menaruh perhatian pada kebudayaan secara luas. Hal ini terbukti dengan keterlibatan beliau dalam pengasuhan majalah budaya Mangle yang berbahasa Sunda, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Kebudayaan Jawa Barat, dan bahkan ilmu bela diri, pencak silat. Beliau juga pernah terjun ke dunia politik dengan menjabat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat.

Perhatian pada sastra dan teater membuat beliau menulis sejumlah karya drama yang beberapa judul di antaranya mendapatkan anugerah pelbagai sayembara.

Pada tahun 2012 beliau mendapatkan Anugerah Festival Teater Indonesia sebagaimana pernah diraih oleh WS Rendra, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Slamet Rahardjo dan Wisran Hadi. Beliau juga menulis sekurangnya 5 karya non fiksi berkenaan dengan dunia teater.

Puisi-puisinya dibukukan dalam Nyanyian Tanah Air (Mimbar Demokrasi Press, 1969),  Rumah Cermin (Sargani dan Co., 1979),  Sepuluh Orang Utusan (PT Granesia, 1989), Mawar Merah (Aksara Indonesia, 2001). Grasindo menerbitkan ulang beberapa buku tersebut dibawah judul Nyanyian Tanah Air (2000).

Sajak-sajaknya:
1. Seorang Insinyur di Puncak Bukit
2. Bandung
3. Surat Bertanggal 17 Agustus 1946 
4. Sang Penyair

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *