Oleh Hasan Aspahani
MARI kita masuki dunia sajak Beni Satryo (lahir di Jakarta, 1988). Ia sudah menerbitkan satu buku pada 2016, yaitu “Pendidikan Jasmani dan Kesunyian” (EA Book, Yogyakarta). Sajaknya menarik perhatian kita karena banyak hal, apa yang akan saya bicarakan dalam esai ini. Setiap kali membaca sebuah buku puisi yang baik, saya akan selalu membayangkan di mana posisi penyairnya dalam peta perpuisikan kita hari ini, dan di mana kelak dia akan berada.
Peta perpuisian yang saya maksudkan itu adalah sebaran gaya ucap, dan di peta itu di mana posisi seorang penyair berada, apa yang memang seharusnya menjadi pertaruhan setiap penyair. Dalam bentangan peta itu kita menemukan Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, dan banyak nama penyair kuat kita lainnya, yang sudah memiliki kavling pengucapan yang sah. Penyair yang datang kemudian, siapapun, mau tak mau harus melewati dan melintasi dahulu kavling-kavling itu. Kemana? Ke tepian hutan tak bertuan. Lalu masuklah ia ke hutan itu untuk menebang seluas-luasnya, mengolah lahan puisinya, mengembangkan tanaman puisinya sendiri, dan kelak mendaku bahwa itu adalah kavelingnya sendiri. Hanya dengan cara seperti itu maka perpuisian Indonesia bisa berkembang, meluas, menjadi kaya, terus-menerus menyegarkan dirinya, dan selalu hidup dengan kejutan-kejutan baru. Tidak memanen buah dari tanaman yang itu-itu saja. Perkebunan puisi Indonesia harus menjadi lahan luas untuk budidaya multikultur, tidak untuk diseragamkan dan dipaksa menanam satu varietas monokultur (yang tak unggul pula) yang hanya akan merugikan dan tak sehat bagi perpuisian kita.
Karena itu maka pengetahuan tentang bentang peta dan batas kavling-kavling itu menjadi penting. Beni Satryo adalah penyair yang saya yakin tahu benar tentang hal itu. Maka dengan sadar dan asyik dia menyusun jalur perjalanannya. Kadang terasa ia sedang melewati kaveling Joko Pinurbo, lalu masuk ke taman Sapardi Djoko Damono, atau menyelinap ke wilayah Goenawan Mohamad. Tapi ia adalah penempuh yang lincah. Ia memetik benih-benih puisi dari kebun para pendahulu itu lalu menghibrida untuk menghasilkan kultivar puisinya yang baru. Pada banyak puisinya pekerjaan menyilang, bahkan memutasi puisi-puisi yang ia curi itu berhasil dengan baik.
Kita baca sajaknya “Keluar Kota” (hal. : Suatu kali, di sore yang mulai temaram / kau pernah bertanya kepadaku – sambal / melipat bungkusan nasi. // “Benarkah di kota itu, oseng-oseng tempe / kelak menjadi logam dan besi?” // Aku hanya mengangkat bahu. / Sambil berusaha mengingat kota apa / yang ada di dalam pertanyaanmu. Di sajak ini, jelas sekali, dengan amat jail, Beni sedang mempermainkan sebuah sajak Goenawan Mohammad yang terkenal itu. Beni tidak mencuri untuk menghasilkan sajak yang serupa. Yang ia curi, sepenggal bait itu, ia pakai untuk mengucapkan hal yang lain. Ia berhasil mengajak saya untuk membayangkan percakapan orang kecil tentang ancaman harga-harga pangan yang kelak akan menjadi mahal, apa yang sama sekali tak saya bayangkan pada sajak Goenawan Mohammad. Stek pucuk sajak dari kebun penyair lain telah dimutasi oleh Beni dengan baik.
Permainan yang lebih asyik lagi bisa kita lihat di “Menjelang Jembatan Slipi” (hal 17). Nota di bawah judul itu sudah jelas disebutkan : mengingat perjalanan Sapardi ke barat di waktu pagi. Ini juga sebuah parodi yang nakal dan cerdas. Dan segar. Sajak ini meyakinkan saya bahwa memang para penyair yang datang kemudian tak bisa (dan tak perlu) menghindar dari kaveling-kaveling penyair besar yang membentang luas pada peta kepenyairan kita itu. Melintaslah, nikmati perjalanan itu, curilah dari situ apa saja yang menggoda dengan segala keisengan, lalu silangkanlah berbagai puisi itu untuk kau kembangkan di kavlingmu nanti, dan itulah yang penting. Kau harus terus berjalan sampai ke tepian hutan tak bertuan nun di ujung peta yang kau bentangkan itu. Jangan takut kehabisan kavling. Hutan tak bertuan itu masih luas. Bahasa Indonesia kita ini telah terbukti punya potensi besar yang memungkinkan pembukaan dan penguasaan kaveling-kaveling baru bagi siapa saja yang mau bekerja keras. Itulah justru hakikat seni puisi.
Membaca sajak Beni Satryo di buku ini, kita bisa dengan gampang tergoda untuk menyimpulkan bahwa ini adalah kelanjutan dari gejala puisi mbeling, apa yang pernah merebak. Mbeling, (berasal dari kota kata Bahasa Jawa yang berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, suka memberontak) adalah penamaan yang memang pas untuk gejala yang digerakkan oleh beberapa orang terutama Remy Sylado. Puisi mbeling sebagai gerakan, mengandung niat untuk melawan penyair, media, estetika yang dianggap mapan dan buntu. Dalam pengantarnya (dikutip dari makalah Sapardi Djoko Damono “Puisi Mbeling: Suatu Usaha Pembebasan”) Remy Sylado menulis:
Pindahkan saja apa yang kaulihat tadi secara menyeluruh tanpa harus dibebani pikiran tentang baik-buruknya, bersih-kotor, indah-jelek, maka dengan jalan itu pula kau telah memilih sikap yang lugu, yaitu menerima akan apa adanya.
Sajak-sajak Beni Satryo jelas tidak dilandaskan pada sikap itu. Diksinya dikerjakan dengan ketat tapi terasa dekat dan akrab. Imaji dibangun dengan teliti dan cermat. Estetika dipertimbangkan benar olehnya. Kembelingan oleh Beni hanya dipakai sebagai strategi pengucapan untuk mencapai suasana yang liris tapi jenaka, lucu tapi pedih.
Situasi sajak-sajak Beni bagi saya adalah kepedihan yang beku yang perlahan mencair oleh kejenakaan yang hangat.
Pada dasarnya sajak-sajak Beni adalah sajak liris yang kuat, dalam arti penyair dengan cermat mengamati alam urban jalanan di luar dirinya, lalu menyusun bait-bait puisi dari apa yang ia amati itu untuk dipersatukan dengan perasaan atau gagasannya.
Sajak liris Beni bukan sekadar potret yang datar atau hanya umbaran perasaan belaka. Klise, ungkapan basi, kecengengan berhasil ia hindari dengan pemilihan dan pengolahan kata yang jeli. Maka hadirlah soto, pecel lele, daun kemangi, terpal warung tenda kaki lima, oseng-oseng, pisang goreng, klepon, wajan, bakwan, plekenyik, nagasari, popmi, sroto, bubur Milna, tepung terigu, membawa makna baru, mengucapkan hal-hal baru yang sebagian besar belum pernah diucapkan dengan cara itu.
Sajak Mbeling mendatangi objeknya dengan sinis, untuk diolok-olok, direndahkan, dilawan, sikap yang ditujukan bahkan juga kepada puisi itu sendiri. Sajak-sajak Beni tidak datang dengan sikap itu, meskipun dia juga tidak menyakralkan puisi.
Sajak “Aku adalah Kaus Kaki” (hal. 44) ini mungkin bisa jadi contoh: aku adalah kaus kaki. / Mungkin juga bungkusan gel silika.// Bundhet di dalam sepatu-sepatu kecil di hati kita. Main-main? Terasa begitu. Tapi ini sajak yang hanya bermain-main? Jelas tidak. Perlu pengamatan dan pengolahan yang intens untuk sampai pada ide mencomot gel silika (sesuatu yang kerap diabaikan saja kehadiraannya) di dalam sepatu baru yang kita beli.
Sajak kecil ini mengolah hal-hal kecil itu menjadi penting dan mengucapkan sesuatu yang menyentuh perasaan. Metafora aku sebagai kaus kaki atau gel silika (di dalam sepatu kecil di hati kita) tiba-tiba dan terus-menerus mengganggu pikiran dan perasaan saya sebagai pembaca. Menggoda saya untuk bertanya-tanya. Sepatu kecil? Ini sepatu baru? Kok hanya disimpan di hati? Apakah sepatunya kekecilan? Jadi tak pernah dipakai? Kalau begitu, kaos kaki itu tak pernah dipakai juga? Kalau gel silika sih lumayan juga, diam-diam kan itu menjaga kelembaban agar tak berjamur. Memang begitulah harusnya puisi yang baik memperlakukan pembacanya. Sajak kecil yang utuh (unity) itu ternyata memuat hal yang kompleks (complexity) dan membuat saya menghayatinya dengan intens (intensity). Begitulah umumnya suasana pertemuan saya dengan sajak-sajak Beni.
Saya bisa menebak-nebak jalur mana yang ditempuh Beni, kaveling siapa yang sedang ia lintasi, dan saya membayangkan ia kelak akan sampai di sebuah lahan yang ia kembangkan menjadi kavelingnya sendiri (apa yang sekarang tampaknya sudah ia lunasi dengan lancar uang mukanya) yang memperluas dan memperkaya bentangan perpuisian Indonesia.
Depok, 25 Januari 2019.