Esai: SCB Bilang Kuasai Bahasa dan Dalami Kehidupan

SCB Bilang Kuasai Bahasa dan Dalami Kehidupan

Oleh Hasan Aspahani

SETELAH mendapatkan ide, maka secara teknis, menulis puisi adalah memilih cara ucap. Dan kita hanya bisa memilih apabila kita bebas, tahu apa saja pilihan yang tersedia, dan kita tahu apa yang kita butuhkan. Tidak ada yang memaksa kita harus memakai cara tertentu. Kita sendiri yang memutuskan.

Ketika membahas sajak-sajak yang terbit di majalah “Horison” sepanjang tahun 1976, Sutardji Calzoum Bachri, menjelaskan satu perkara mendasar dan penting soal pilihan-pilihan cara ucap tersebut. Tulisan ini saya kembangkan dengan sepenuhnya berdasar dari tulisan Sutardji yang dimuat bersambung di “Sinar Harapan”, 19-20 Februari 1977. Pilihan-pilihan itu adalah:

Pertama, memilih antara bentuk epik-naratif atau imajis-liris. Keduanya bisa dipilih untuk mencapai kualitas puitik. Puisi berbentuk epik-naratif, yang memakai bahasa prosa, yang dicirikan dengan kelancaran bercerita, bisa mencapai kualitas puitik itu, asalkan penyair mampu memanfaatkannya untuk menjalankan fungsi puitik.

Apa itu fungsi puitik? Fungsi puitik adalah fungsi estetika bahasa yang diberdayakan dalam puisi. Fungsi puitik terjadi ketika perangkat-perangkat puitika bekerja atau diberdayakan.

Fungsi puitik terjadi ketika kata-kata hadir lebih sebagai dengan metaforis ketimbang metonimis, dan bahasa menghadirkan makna yang lebih konotif daripada denotatif. Cerita sebagai alat di dalam puisi (bukan kata atau frasanya) bisa menghadirkan metafora, juga bisa membawa makna konotatif.

Memang, pada sajak epik-naratif kesempatan untuk menjalankan fungsi itu agak terbatas ketimbang sajak imajis-liris, tapi bukannya sama sekali tak bisa, dan tak boleh sama sekali tak ada. Tanpa itu kualitas puitik gagal dicapai.

Kedua berujar naif atau mengejar sofistikasi. Dua pilihan ini masih terkait dengan pilihan pertama, pilihan kedua ini juga masih soal pilihan bagaimana bahasa diolah.

Kita bebas mau memakai bahasa yang biasa saja, yang sederhana, dengan bahasa umum yang komunikatif, atau bahkan naif, atau sebaliknya bahasa yang mengejar sofistikasi atau keagungan pengucapan.

Penyair memang harus berhasrat untuk membangun sebuah gaya ucap personal. Ia sesekali harus berani menantang arus konvensi, bereksperimen menawarkan inovasi.

Gaya personal adalah pencapaian tapi tentu saja pilihan itu mengandung risiko. Ia bisa tertolak, tak terpahami, dianggap genit atau kenes, atau sebaliknya disambut dengan tepuk tangan pengakuan, untuk kemudian juga menjadi konvensi, terkonvensikan.

Harus diingatkan bahwa konvensi bisa ada di kedua pilihan, ada di cara berujar naif atau mengejar sofistifikasi. Jadi tantangan untuk bereksperimen juga bisa ada di kedua pilihan itu.

Sajak “mbeling” adalah contoh bagaimana penyair memilih untuk berujar secara naif. Pilihan ini bisa gagal bisa juga berhasil, sama saja dengan pilihan untuk memakai tuturan yang mengejar sofistikasi.

Apa yang harus diperhatikan oleh penyair agar bisa tahu benar kenapa dia harus memilih yang mana dan berhasil menciptakan puisi yang baik dengan pilihannya itu?

Sutardji Calzoum Bachri menjawab, “Setidak-tidaknya ada dua sisi yang harus diperhatikan oleh seorang penyair. Di satu sisi dia harus mengenal bahasa dengan baik, akrab dengan kata-kata. Di sisi yang lain dia harus akrab dengan kedalaman konsepsi hidupnya, dunianya.”

Lebih jauh ia jelaskan, sikap hidup yang personal dan mendalam akan bisa menghasilkan sajak yang otentik dan punya kedalaman (bobot). Demikian pula, katanya, kehadiran bahasa (kata-kata) dalam suatu sajak yang timbul dari penghayatan yang mendalam dan personal terhadap bahasa, akan bisa membantu memberikan bobot dan otentisitas sajak.

Akan tetapi sebaliknya, kata Sutardji, menggantungkan kehadiran puisi pada keterampilan teknis dalam berbahasa, tanpa didampingi kedalaman sikap hidup yang personal, hanya akan melahirkan sajak artifisial, karena penyair belum melayani kehidupan secara otentik.

Jakarta, 28 Juni 2021.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.