Esai: Hoppla! – Chairil Anwar

Oleh Chairil Anwar (1922-1949)

Bagi seorang yang bisa menulis menurut
kepercayaan yang sudah mendarah-nanah
dalam dirinya, bykan menurut keperca-
yaan yang masih diharapkannya.

 

           JIKA kita memaling ke belakang, kita dapati “Pujangga Baru” terlahir dalam 1933 bersama dengan terebutnya oleh Hitler kekuasaan di Jerman, tetapi majalah ini selama hidupnya hanya memuat satu artikel dangkal tentang fascisme! Di samping itu melengganglah “Pujangga Baru” dengan nomor-nomor pertamanya berisi esei yang tidak berdasarkan pengetahuan (dalam arti seluasnya!) kesusasteraan, meneriakkan “pembaharuan”.  Tetapi oleh karena memang ada intensitas dalam golakan mulanya, tersembur jugalah beberapa ikatan sajak. “Jiwa Berjiwa” oleh Armijn Pane: tidak satu sajakpun dari kumpulan ini yang tinggal lagi dalam ingatan. “Tebaran Mega” Sutan Takdir Alisjahbana: 2 atau 3 sajak duka ketika kematian istrinya turut menyembilu hati. Beberapa pula dari Or. Mandank yng bersahaja menggores.

           Puncaknya dalam gerakan Pujangga Baru selama 9 tahun adalah Amir Hamzah dengan prosa-prosa lyris, sajak-sajak lepas, 2 ikatan sajak: “Buah Rindu”, “Nyanyi Sunyi”, salinan dari beberapa sastrawan-sastrawan Timur yang ternama, disatukan dalam “Setanggi Timur”.  Kata kawan-kawan seangkatannya Amir Hamzah dapat pengaruh dari pujangga-pujangga Sufi dan Parsi. Tetapi yang perlu diperhatikan bagi saya ialah, bahwa Amir dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya menerakan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang pedat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!  Puisi Amir dalam “Nyanyi Sunyi” ialah yang dinamakan “puisi gelap” (duestere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah, jika kita membaca “Nyanyi Sunyi” sonder pengetahuan tentang sejarah dan agama, karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (ke-Islaman).  Kalau kawannya Takdir menempatkan Amir sudah ditingkatkan “internasional”, saya hanya bisa menerima kegembiraan ini dalam arti: puisi yang dilahirkan Amir bisa digabungkan pada hasil pujangga-pujangga lain di masa ini. Karena puisi Amir juga meminta “pengetahuan”, tenaga rohani si pembaca.

           Dalam waktu belakangan dari Pujangga Baru menjejer lagi seorang Karim Halim, yang menuliskan 4 atau 5 sajak untuk kenangan, dan Asmara Hadi dengan kelantangan pekikan perjuangan, sepoi lagu cintanya bisa dicatatkan juga. Selain itu beberapa kritik serta polemik yang tidak berdasarkan pengetahuan dan kepribadian (personality) mencoba meributkan kehidupan “Pujangga Baru” yang sebenarnya tidak membawa apa-apa dalam arti penetapan-penetapan kebudayaan.   Jadi: “Pujangga Baru” selama 9 tahun tidak memperlihatkan corak, tidak seorangpun dari majalah tersebut sampai kepada suatu “perhitungan”. Maka datanglah “Kulturkammer” Jepang dengan nama “Pusat Kebudayaan” yang memberi kesempatan tumbuhnya “kesenian” dengan garis-garis Asia Raya – jarak – kapas – memperlipat ganda hasil bumi – romusha – menabung – pembikinan kapal dan lain-lain. Dan terjelma pulalah pasukan seniman muda yang dengan patuhnya tinggal dalam garis-garis tersebut, tidak sedikitpun berdaya meninggalkannya!!! Tidak mereka tahu bawha beratus seniman-seniman Eropah (Jerman, Italia), di Jepang sendiri, menentang dengan pertaruhan jiwa, yang meninggalkan negeri yang dicintainya karena aliran kebudayaan paksaan ini. Yang berpendirian: lebih baik tidak menulis dari pada memperkosa kebenaran, kemajuan.

Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!!

           Sekarang: Hoppla! Lompatan yang sejauhnya, penuh kedararemajaan bagi Negara remaja ini. Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!! Bahwa Kata tidak membudak pada dua majikan, bahwa Kata adalah These sendiri!! Dan waktu lampau cuma mengajar kita: didesakkannya kita ke kesadaran yang ada memang dalam diri sendiri; harga-harga kerohanian yang sudah tersobek-sobek kita raba kembali dalam bentuk sepenuh-penuhnya. Dunia – terlebih kita – yang kehilangan kemerdekaan dalam segala makna, menikmatkan kembali kelezatannya kemerdekaan.

           Kemerdekaan dan Pertanggungan Jawab adalah harga manusia, harga Penghidupan ini. Dan apa sajapun tidak akan membikin kita rela menekan diri sendiri lagi….

           Hopplaa!! Melompatlah! Nyalalah api murni, api persaudaraan bangsa-bangsa yang tidak akan kunjung padam.

           Hopplaa! Mari kawan-kawan seangkatan, kita pahat tugu pualam Indonesia sempurna. Dunia sempurna…

Catatan: Esai ini dimuat di Pembangunan Th. 1 No. 1, 10 Desember 1945

One thought on “Esai: Hoppla! – Chairil Anwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *