Oleh Hasan Aspahani
Sutardji Calzoum Bachri
Para Penyairpara penyair
jangan biarkan dirimu
berlamalama
di lembahlembahjangan lama terperangah
pada keanekaragaman tanahlembah dan lereng
memang disiapkan
agar kalian
mengingat puncak
menantang
meraih
ataspara penyair
jangan biarkan
batinmu
tercengang pulas
tenggelam
di kelembahan badanayo
mendaki
taklukkan kelembahanmu
walau pedih tebing-tebing
harus kau atasi kepedihan
meski luka di lembahlembah
atas kedukaan
jangan tenggelam
ingat!
Ibrahim tak suka barang tenggelamayo
mengatas
meninggi
sampai tanah menyatu
mengatasi keanekaragaman tanah
sampai langit
tanah
menyatu
mengucap
hakikatayo
para mawar
tanggalkan kelopak pongahmu
mendakilahdi puncak
tanah menyibak langit
langit menyibak tanah
tanah mendekap langit
langit memeluk tanah
saling membuka
saling menutup berpelukandi puncak
segalanya terbuka
dan tersimpan1987
JALUR pendakian ke puncak sajak itu selalu ada dua: jalur biasa, dan jalur rintisan. Jalur biasa adalah adalah jalan yang resmi, yang aman, yang di sana-sini ada rambu penunjuk agar si pendaki tak tersesat, bahkan ada pemandu yang membawanya sampai dengan selamat.
Ia sampai ke puncak sajak yang juga biasa, yang sudah banyak pendaki sampai ke sana. Tapi, apapun namanya ia sampai mencapai puncak. Ia mengibarkan bendera kepenyairannya di sana, tapi eh, tentu saja di tempat yang sama banyak sekali berkibar bendera milik para pendaki lain. Bendera yang sulit dibedakan satu sama lain.
Jalur rintisan adalah jalur yang harus dibuka dengan membabat hutan. Si pendaki tahu ada puncak lain yang hanya bisa dicapai dengan membuat jalur pendakian lain. Ia menemukan air terjun, sungai yang deras, tebing yang mendinding, jalan batu yang berlumut.
Ia mungkin dirundung gagal dan tak pernah menemukan puncak yang lain itu. Itulah risiko seorang pelopor. Bahkan ketika ia sampai di puncak, ketika ia telah menancapkan benderanya disana, banyak orang yang berada di kaki bukit sajak itu tak percaya, tak bisa membayangkan puncak baru yang dicapai sang pendaki gigih dan perintis jalur baru itu.
Dalam bentuk lain, di negeri lain dengan tradisi perpuisian yang sehat, juga di negeri ini pada masa yang lain, dengan istilah-istilah yang lain, persoalan di atas memicu dan memacu perdebatan, dan membuat para penyair terbelah ke dalam dua kubu.
Di Amerika, ada pecah perang antara dua kubu penyair di sekitar 1980-an. Perang puisi itu, kira-kira baranya masih mengepulkan asap hingga hari ini. Di satu kubu sebut saja “kubu kanan” adalah kubu arusutama alias “mainstream”. Pendirian mereka adalah puisi harus mempertimbangkan dan menarik perhatian pembaca biasa, mengomunikasikan pengalaman universal dalam bahasa terang dan jernih. Di kubu ini bergabung penyair seperti Billy Collins dan Mary Oliver. Markasnya ada di “Poetry Magazine”.
Di pihak lain, “kubu kiri”, kubu eksperimentalis, yang meyakini bahwa bahasa puisi harus menantang dan menentang universalitas, menggali dan membongkar konvensi, dan memperbaharui kekuatan bahasa terus-menerus. Di kubu ini ada penyair Susan Howe, Charles Bernstein. Markasnya ada di majalah “L=A=N=G=U=A=G=E”.
Kubu kanan adalah para pendaki di jalur biasa. Kubu kiri adalah para perintis, pembuka jalur pendakian. Penyair-penyair terkuat kita pada masanya adalah para perintis, pembuka jalur-jalur pendakian baru. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Rendra, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, untuk menyebutkan beberapa nama adalah para pembuka jalan baru yang kemudian diikuti oleh pendaki setelahnya.
Situasi perpuisian kita mungkin berbeda dengan Amerika. Tak ada “kubu kiri” dan “kubu kanan”. Tak tampak ada perkubuan dengan perdebatan yang sengit dan terus saja tak habis peluru untuk berdebat. Di sini perjuangan dilakukan orang per orang. Situasi ini bisa dilihat sebagai keadaan yang baik. Toh, menyair akhirnya adalah pekerjaan soliter. Penyair yang kuat akan mudah tampak setinggi apa sudah ia mendaki. Di awal pendakian mungkin ia menempuh jalur biasa, lalu pada suatu titik ia membuka jalan baru, memasuki hutan lebat bahasa, merintis jalan lain menuju puncak yang lain.
Tetapi menyairlah terus, wahai para penyair. Mendakilah. Sendiri atau beramai-ramai. Berhentilah jika lelah. Tertawa-tawalah. Bahagiakan dirimu dalam pendakianmu. Sampai mana kau sudah mendaki? Ah, tak perlu juga kau pikirkan benar soal itu. Sampai di manapun pendakianmu, pada titik itu kau boleh turun atau terus mendaki. Atau betah-betahkan saja dirimu di situ. Tak semua penyair akhirnya sampai pada puncak. Tak semua puncak harus ditaklukkan. Tak semua penyair punya kemewahan menamakan sebuah puncak puisi sebagai puncak kepenyairannya.
Dan bahasa adalah hutan luas yang menantang dengan gunung-gunung misterius yang masih berselimut kabut tebal. Lewat puisi, para penyair bisa menjadi perintis, membuka jalur-jalur pendakian baru menuju puncak puisi bahkan puncak bahasa yang baru. Ambillah kesempatan itu. Kuatkan dirimu. Persiapkan pendakian dan rancanglah jalur pendakian yang baru. Bentangkanlah peta para pendaki terdahulu. Tandai jalur-jalur mana yang bisa kau ulang, jalur mana yang harus kau buang, dan wilayah mana yang akan kau jadikan daerah petualanganmu yang baru.
Selamat mendaki, selamat merayakan Hari Puisi Indonesia!
Dedy Tri Riyadi
GolgotaKau akan punya puncak bukitmu sendiri.
Tempat kau teriakkan sakitmu itu.Perjalanan mendaki ini, telah dimulai
sejak kau dilahirkan. Meski tak ada
kisah penyerbuan di taman.Tak ada Ike Mese menyerangmu di barat.
Tak juga Kau Hsing di timur,
atau Shih Pi yang mencegatmu dari sungai.Di punggungmu, hanya ada panggung bagi
cambuk waktu. Tak ada Tentara Wijaya
mengintai di antara kecamuk pesta Canggu
dan Daha. Di punggungmu, kayu gandar
dan kuk ringan dari harum cendana.Kau berjalan sedidi saja ke puncak bukit ini.
Tiga ribu pasukan yang kalah telah kembali
ke kapal dan menjalani hukuman selama-lamanya –sebagai orang jahat pada kebangkitan kedua.
Kau akan punya puncak bukitmu sendiri
dan meneriakkan sakit ditinggikan.Sakit yang berasal dari cita-cita,
yang ingin kau jangkau –dengan suara parau, saat berseru:
“Sudah selesai.”2016