Puisi: Bentar Utara – Ahmad Faisal Imron (l. 1973)

Ahmad Faisal Imron (l. 1973)

Bentar Utara

di Bentar Utara
di langit yang sekuning Van Gogh
kapinis menggores sebentuk tangis
untukmu, yang masih si pewaris

bayang-bayang Izrail

akhirnya, takluk pada kesia-siaan
pada seruling krem yang kaumainkan
aku rasakan segala yang berguguran

seperti doa Ayub penghabisan

seperti juga jerit sorgawi

pada ronamu yang kini semerah amarah
pada hitam pastel bayang-bayang soremu
tatapanmu yang keliru, dulu, ketika aku
mengajarimu di gubuk ini dan terkejut
bahwa yang meleleh di tubuh-tubuh itu

nyatanya, seperti kerianganmu yang dulu

nyatanya, semuanya telah tiada!

ketika kita masih bagai perunggu; jiwa yang lugu
dengan tenang, bercerita tentang gadis bibir elastis
matanya yang sebulat purnama atau direbut purnama
di sore yang agung, saat awan-awan putih
menggores langit dengan jemarinya yang santun
mungkin, sedetik sebelum kepedihan mengental

mengental dan dalam
bagai seribu paku berkarat di jantungku
mengental dan dalam
bagai membekunya ujung peluru

kepulangan burung-burung itu
menggarisbawahi nama kita
untuk kematian hari esok
lepas dari seluruh yang telah tiada

Bentar Utara
di mana dendam pada beribu-ribu
gerutu sang suhu

di mana kau
dan hela nafas menjadi
secepat panah mengarah

di mana adzan
juga awan yang bagai kafan
seperti dipersiapkan

bagi sisa iman kita yang sebenarnya

tapi sungguh, dari seruling krem penghabisan
dari ritme-ritme dan tanda seru yang berhamburan itu
tiba-tiba aku ingin melihat sang Suri sedekat mungkin
menyentuh kedua pipinya, seperti menyentuh lelehan lilin

aku pahami benar itu isyarat atau tiga cakar bekisar di matamu
tapi detik ini, rasanya ingin kematian menjadi halus bagiku

2001

Sumber: Maliun Hawa, Sajak-sajak 1998 – 2006 (Komunitas Malaikat, Bandung; 2007)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *