Puisi: Bunga Tumbuh di Perahu – Mashuri

Mashuri

di ujung, ketika kaki kita kerap tersandung batas, kita langsung menciut ke laut; ada yang susut dari kita dan kita ingin menguntitnya, meski kita tahu, itu selalu saja membuat kalbu kita luka…

nan jauh, masih membekas tilas biru, tempat kita dulu bersenandung di atas ayun perahu, ketika gelombang tak lekas jadi bandang, ketika lengkung langit adalah kubah yang nyaman dijadikan rumah. Bunga-bunga pun bermekaran di dinding kayu, merapat ke tubuh kita yang ‘lah dibebat rindu, kita pun diungsikan ke sebuah ruang, di mana ada percakapan dan kebisuan menyusut ke tebing lain; kita seperti nelayan yang sedang berlayar di bebukitan dengan perahu terbang, di saat yang lain kita adalah nelayan yang berkarib dengan ikan-ikan lalu merengkuhnya dengan girang; di puncak tawa, kita lalu melolosi baju, membuangnya dan berharap kenangan penuh lagu itu abadi di dasar sepi dan tak terungkit lagi; kita ingin sebuah kenangan yang abadi yang bisa menjadi tempat kita selalu pulang dalam sebuah kelana…

tapi kini, riak waktu terus bersikecipak; ikan-ikan berlompatan menjauhi kenangan; ketika perahu berhenti dan ombak menepi ke pantai, kita hanya bisa menatap cakrawala yang tersia; di jala, kita hanya menjaring sampah, juga seperangkat pakaian kita yang tak lagi utuh, pakaian yang membuat kepala kita semakin berdenyut dan semakin susut oleh rasa kehilangan yang lain; di pakaian itulah kita pernah berikrar, masa lalu adalah altar kita merajut geletar pertama, lalu kita menuju ke pulau lain yang dipenuhi renjana; tapi sungguh kita selalu saja terlempar ke masa lalu dan selalu saja merasa tidak utuh dan rapuh…

Surabaya, 2008

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.