Marhalim Zaini
Dari lorong tubuhnya, terdengar sorak anak-anak,
Memukul-mukul sayak. Rampak tempurung retak,
“Pukimak! Jangan memekak!”
Dulu, ia ibu segala ibu.
Yang dari laut mengadu surut
ke sungai-sungai yang beranak
di celah pahanya yang bau gambut,
bau busut.
Lalu malam bersarung,
menyelinap di senyap
yang gagap.
Mendengkur seperti debur
seperti suara mesin-mesin lembur.
Gelap adalah juga nasib,
serupa senja yang kasip
dan berulang, terus berulang.
Kalian tahu,
di daun tingkap yang patah sebelah
ia rebah bagai pelepah kalah
menanti musim berbenah
menunggu debu jerebu bersayap
lesap dari kelaminnya yang tersingkap.
Untuk anak-anak itulah
ia mengalah.
Mencubit kulit
mencintai rasa sakit.
Bahkan sesekali ia bantai
sambal petai
agar peluh berderai
dari celah-celah tubuhnya
yang kian tersadai.
Tapi tak sesedap saat tersesat
dalam dekap, dalam rumah adat
yang tak bertingkap.
Sebuah keluarga, ia duga
telah ranab asal-usulnya.
Akulah melayu, akulah melayu!
Dan mereka terus berseru
dari balik tiang-tiang surau
dari perahu-perahu tak berhulu.
Sesemak tanah-tanah mati
mereka lalu berkerumun
sibuk membatas luas bebas
sesibuk emak-emak
yang lupa bertanak.
Aduhai, kampung tempurung
kota-kota melepas gapai
menjulurkan tikai.
Dan di belakang mereka
dayung terapung
di atas bangkai sungai.
Mari menyerang, mari menyerang!
(dengan apa lagi membunuh musuh
jika yang sisa cuma keluh
tersebab terlalu lama berlabuh
sampai lupa cara berkayuh)
Tapi untuk anak-anak itulah
ia melukis sejarah, mirip rajah
yang terserak dari letak.
Ia bingkai dari retak.
segalanya jadi seperti baru
seperti foto gadis belia yang tersipu.
Duh, seluruh mata menjelma badik
membidik dari balik bilik.
Siapa yang tahan pada godaan
di zaman yang lintang-pukang
yang haram untuk dilarang.
Maka ia limbung,
menakik tubuhnya di atas bumbung.
Aku ingin menjadi patung!
Tapi hujan telah hinggap di atas atap
menjaring tubuhnya yang leleh
seperti gemeratap bunyi plastik
dalam api,
seperti sunyi yang pasti.
Begitu pula subuh
fajar yang kadang ia kenang
sebagai lelaki yang datang berulang,
Rindu itu, sakit ya bang?
Tak ada untungnya
berharap sembuh pada petang.
Sesisa ruang pada siang
hanya jarak yang lengang.
Sementara anak-anak
masih berbaris menangis
menampung tetes jam
dari ujung atap rumbia
yang rumpang.
Tolong siram api hutan, tuan!
Yang lain, diam.
Percakapan hanya melintas-lintas
seperti suara kendaraan
yang bergerak lekas,
cemas yang membekas.
Kalian tahu,
di daun tingkap yang patah sebelah
ia pernah meniggalkan petuah:
Pedas lada hingga ke mulut
Pedas kata menjemput maut.
Tapi tumpah
lalu tembus ke tanah.
Dan orang-orang menjeling
dengan kerling mata maling.
Ada bau dari uap lembab
yang seketika meruap.
Bangkai apa ini?
Tubuh siapa pula ini?
Umpama kain buruk
dibuang terlarang
disimpan takut hilang
tak adakah lagi yang sayang
pada sepetak ladang
yang kini tergenang?
Dan ia hanya memandang
ombak berkejaran
datang menyerang.
Namun di kejauhan
segera ia dengar
ribuan kuli membawa kabar
tentang busung lapar
dan tanah-tanah yang terbakar.
Barangkali beginilah sumpah seranah
harus ditelan, pahit serupa ubi kayu hutan
seperti malam yang tiba-tiba mencekam.
Siapa yang dibantai di pantai?
Rupanya kita memang cuai
ditetak belati janji
berburu suku
menjejas ras.
Bahwa tuhan telah malas
menghitung yang retas
dari hati kita yang tak berbelas.
Dan ia kini sendiri
bersimpuh di pasir asin
menyeduh Yassin, dan Qulhu
yang tumbuh di retak bibirnya
berkali-kali berbunga
kelopak yang kelak renta.
Tapi dari belakang punggungnya
sorak anak-anak kembali menggema
memukul-mukul sayak
menggaul sagu di tempurung retak.
Apalah daya luka di badan
yang condong kan rebah jua
yang hinggap kan susah juga.
Sungai tak sampai-sampai ke guguk
Memanjat tak sampai-sampai ke pucuk.
Aduhai, kampung tempurung
kota-kota melepas gapai
menjulurkan tikai.
Siapakah yang tak malu
memainkan buah dadu
di halaman rumah waktu?
Kalian tahu,
di daun tingkap yang patah sebelah
ia kembali belajar mendengar
derit engsel, karat debar
dan tangan yang gemetar.
Seperti ada yang sedang berlayar
di gaunnya yang lebar
seseorang bertubuh kekar
dengan wajah penuh memar.
Sungguh, ia begitu paham
hangatnya sebuah pertemuan
meski ia tak mampu melupakan
perihnya sebuah perpisahan.
Jauh-jauh hari ia menghindar
dari lingkar cahaya suar bandar
dari tangkap perangkap dekap
sebab sembab di matanya
adalah tanda derita lama
yang lekat serupa barut luka.
Tapi ia kadang bertandang
memaksa tikam ke liang lubang
dan mengusir anak-anak ke lautan.
Setelahnya, ia raib bersama maghrib
membekaskan aib.
Di tikar pandan koyak
jejaknya berminyak.
Bangkai ikan, ranting bakau,
kulit ular, puntung tembakau,
sandal jepit, buntut ikan kuau,
tongkang pecah, serpih pulau.
Segalanya hanya ia pahami
sebagai sisa puisi basi.
Tapi untuk anak-anak itulah
ia memeram benih kisah
di bawah dapur tanah.
Ia seperti sedang membaui
fosil waktu di tubuhnya sendiri.
Sungguh, inilah saatnya
menjilati amis dosa
pekung di tulang punggung
dan di sekujur bilur
yang selalu mengganggu tidur.
Tolonglah, tangkap dia!
Tapi dia belut, bukan siput,
selalu luput dari renggut.
Dan kelak dia pasti kembali
bersama anak-anak yang ganjil
bertubuh setengah bugil
memukul-mukul kaleng rombeng
ke sekeliling kampung tempurung.
Seperti ada yang berperang
saat mereka datang melenggang,
Tapi seperti ada yang hilang
saat mereka tiba-tiba terbang.
Kalian tahu,
di daun tingkap yang patah sebelah
ia kini bukan ibu segala ibu
yang mengadu dari laut
hanya deru angin lembubu.
Tengoklah, tangannya yang berderak
memukul-mukul tempurung retak
melebihi sorak anak-anak
Pukimak! Jangan memekak!
Pekanbaru, 2005