Puisi: Siul Angin di Bukit Batu – Djawastin Hasugian (l. 1943)

Djawastin Hasibuan (l. 1943)
Siul Angin di Bukit Batu

Siul angin di bukit batu. Melagukan musim kian meninggi.
Menggunduli pohon. Pohon-pohon terpencil
Di kaki langit hitam. Hitam tambah menebal mengental juga
Sebentar lagi, hari pasti akan hujan
Setelah bertahan, kemarau yang lama.

Di sebelah utara. Terdengar suara berat.
Mengguruh seakan bumi runtuh. Bergulung sarat ke arah barat.
Di selingkar kaki langit. Di seputar kaki bukit
atau katakanlah. Tembok barat telah patah
Dan akan menimpa bumi yang sendiri.

Dan siul angin kini semakin meninggi semakin
Merisau
Menggigil runcing-runcing ranting
Jauh mengaduh. Seakan menangisi lembah gelisah
Serasa ada dia menanti ataukah ternanti
serasa ada dia memanggil ataukau dipanggil.

Adakah ia bertanya tentang hidup keakan atau kelampauan?
Ataukau ia mengerti puisi hidup apa kekinian ini?
Dan ini. Tangan-tangan. Meranggas. Menadah harap cemas ke udara.
Telah gugur semua daun. Semua daun. Yang kuning-kuning hijau.


Sumber: Basis, No. 9, Th. XIV, Juli 1965; dalam “Tonggak”, ed. Linus Suryadi (Gramedia, 1987)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *