Puisi: Dongeng Sebelum Tidur (15) – Wendoko (l. 1968)

Wendoko (l. 1968)
Dongeng Sebelum Tidur (15)

Kau suka menyelipkan melati ke rambutmu.
Harumnya jadi aneh waktu bercampur bau rambut – lebih
lembut dari sitrun. Tetapi sitrun adalah harum yang paling
lembut, begitu katamu. Tahukan kau, melati selalu
mengambil harumnya dari bau lain di dekatmu?

Tentu aku tahu. Saban hari kau yang merawat
bunga-bunga di kebun. Kau menyapu daun-daun prem yang
rontok, menata letak batu-batu, dan membuat gundukan tanah
di rumput. Kau yang menanam tanaman rambat di dinding,
lalu mengatur bambu-bambu menutup dinding yang
menyudut. Kau pintar merawat tangkai bunga atau memotong
batang, karena itu kau akrab dengan bau-bauan itu. Tapi kau
paling menyukai anggrek dalam pot. Itu anggrek musim semi,
katamu. Harumnya tak menusuk, tangkainya ramping, dan
kelopaknya serupa lotus.
Warnanya juga putih-keruh. Kau
juga menyukai azalea, yang jarang kaupangkas dan karena itu
tak tumbuh merumpun.

Di pondok mungil kita, kau yang menanam bunga-
bunga dalam pot. Sampai tak ada lagi tempat kosong. Kau
menyusun krisan, selusin atau dua puluh – dalam pola tak
berimbang dan aneka bentuk. Tak boleh terlalu rapat,
katamu, agar bunga-bunga tak berdesakan atau saling
menumpuk. Kadang kau mencampur bunga-bunga, lalu
menyelipkan batang rumput – dan memakai penjepit agar
tangkai tegak dan melentur. Tetapi kadang kau hanya menata
bunga di mangkuk. Kau mengikat beberapa tangkai, lalu
menancapkan pada alas berpaku – sebelum mengisi mangkuk
dengan potongan arang, pasir yang habis dicuci, menuang air
dan melekatkan selapis lumut.

Waktu malam kita berdiam di kamar itu. dinding-
dindingnya sudah kaulapis dengan kertas berkarakter Fu.
Dalam cahaya pelita, kamar itu jadi teduh. Kau kerap
menyeduh teh, dan kita memandang ke luar pondok. Di langit
awan merambat dan setiap saat berubah bentuk. Bulan
bersinar di belakang pepohonan pinus. Kita menikmati bulan,
bunyi jangkrik, dan gemulai angin pada daun-daun,. Aku suka
menulis sajak pada waktu-waktu itu. katamu, sajak-sajakmu
seperti gemericik air atau bunga-bunga gugur
. Kataku, aku
mencintai matamu yang seolah danau dengan warnanya yang
teduh.

Lama setelah kau pergi, aku masih merawat kebun
dan bunga-bunga dalam pot. Aku menyeduh teh, lalu
memandang ke luar pondok. Aku masih menulis sajak-sajak,
dan selalu mengingat harum melati yang kauselipkan ke
rambutmu…

 

Sumber: Sajak-sajak Menjelang Tidur (Banana, Jakarta; 2008)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *