Komang Ira Puspitaningsih
(1)
Malaikat tersedu
Tiga pendeta sangsi
Berulang menimbang
mawas diri
:adakah kematian
jadi jalan paling suci
meski dosa tak pernah luput
menghampiri diri?
Ini harus dilalui
Bukankah tiap kematian
memikul satu kelahiran baru
(2)
Kota makin bising
Bukan karena ringkik kuda
Atau rintih sapi
penarik pedati
Aku terbangun dalam keramaian
Yang enggan memaknai hari
Dengan menghirup dalam-dalam napas
Kota pun menangisi kematiannya
Tentang musim yang tak pernah jelas
nampak
Tulisan-tulisan tak terbaca
Banyak cerita tak diceritakan
Raib di tangan para rahib
Seolah disucikan
Dipenggal arus
waktu ke waktu
Menghanyutkan kata
hingga kuburnya
Ladang adalah tempat istirah
Menjelma makam
Penghabisan nama-nama
di hari yang murung
: akankah peri-peri
memberi sihir
yang membuat tanah
jadi hijau?
Lalu kembalilah padaku
dari hidup yang teraniaya
Saat bulan gemetar di kejauhan
Setiap cerita
menjelma pulau-pulau kecil
dan laut yang mengitarinya
(3)
Langit jernih
Bidadari pagi sibuk
Membunuh satu demi satu bintang
dan kilau murungnya
Detik-detik bertalu
diburu biru waktu
Orang-orang menabuh sunyi
Lalu pergilah mereka
Empat burung dengan
empat benih padi berwarna
(4)
Aturan-aturan tak mesti dipatuhi
Badai mengubahnya lebih indah
dari segala arah angin
Memukul-mukul bebatuan
Dengan tangannya
yang bernama ketiadaan
Retaklah batu,
Seperti bulat mata mereka yang pucat
Terbanglah kalian
Dara, Kuteh dan Titiran
Terbang jauh dalam mimpi
Sebelum mimpi buruk mengejar
Kita yang berpulang
Menjelang malam
Membawa keluh yang selalu sama
– tentang puisi –
Gelegak rindu ingatan
pada lahir kata
Hijau rahim kata-kata
(5)
Inilah kami, Dewi
Tiga burung, dan
tiga benih padi berwarna
Matahari langsat dengan ronanya
Mungkin tubuh jadi gumpal getir
Dan amis kental darah
meruah
Menggembur tanah
Sembunyikan kami
Lewat benih-benih ini, Dewi
Dengan sihir di keempat tanganmu
Biar tualang usai tanpa rupa
(6)
Aku gelisah
Dengan tinta yang makin beku
Menuliskan sekian perjalanan
Entah untuk kali yang keberapa
Hidup cuma hitam-putih
Kita, bidak-bidak catur
Tercenung
Memikirkan jalan nasib
sendiri-sendiri
Lalu padamkan doa
dan ayat-ayat suci
(meski tak selalu sia-sia)
Tuhan yang kosong
: adakah Ia
semesta yang selalu hampa?
Jogja, 2007
Puisi ini terinspirasi kisah dari Bali berjudul “Empat Burung Pembawa Empat Bijih Padi Berwarna”.