Ahmad Yulden Erwin
1
Sepotong cahaya krem perlahan melayang dalam cahaya lembut
matahari senja, angin sebentar singgah menyapa ruang tamu.
Kau pun teringat satu musim dingin paling kejam di Moskow
menggigil dalam selarik sajak Brodsky; warna-warna muram
menghantui sepanjang tahun pelariannya: di sana kebebasan
ditumpuk bersama pakaian kotor, dasi merah tak lagi terpakai,
selesai dalam mesin cuci di ruang kusam satu apertemen kecil
di Amsterdam. Di sini senja bulan April, cicit sepasang kenari
pada ranting kering petai cina, di seberang halaman tetangga
disahuti lengking rumput liar. Pikiranmu berlompatan seperti
sepasang kelinci anggora: mendung di pelupuk mata putrimu
menjelma hujan saat menguburnya – Mengapa mereka mati?
Memang, tak bisa kaujawab pertanyaan putrimu dengan tepat.
Kau memeluknya, berjanji akan membeli seekor kelinci putih di
pasar kaki lima. Kenangan tengah melompat ke sisi beranda
tepat ketika bola matamu mengincar perspektif dingin lainnya.
2
Di pojok kiri langit utara, warna senja makin mirip susu basi
seperti satu sapuan kuas canggung dari tangan pelukis amatir;
namun aroma rambut basah tak bisa dihapus, seperti bau nasi
matang dikukus. Kini, tak ada yang bisa memaksa kenangan
di hatimu, tumbuh diam-diam, persis ketika kau memandang
putik-putik anyelir, seolah muncul gaib di depan matamu –
Kenapa mereka berduka? Kenapa kita ada? Kenapa maut ada?
Dan kau baru akan memulai perjalanan saat mendung terjaga.
Gegas kaurapikan seprei ranjang tidurmu, kausapu debu-debu
di bawah pintu lotengmu, langkah kaki turun dari anak tangga
keramik berkilau. Di luar: kepak sayap tekuku menjemput awal
musim kemarau. Buah-buah jambu air di halaman bergoyang
dengan merah tua dan merah mudanya, semburat warna hijau
dari ekor belalang. Jejak kelinci hantu melompati sejulur akar
ilalang; segalanya pasti berlalu, dan kau selalu bisa melupakan
desir angin dalam mimpimu, di antara dua jeda, kalimat dingin
bersiap mengucapkan sayonara kepada rak sepatu, sandal tua,
dan bacin bau got di depan rumahmu. Kini kau tatap kebalauan
bersinar di bawah sebatang lilin, di meja kerjamu – begitulah
muasal seekor kecoak sekonyong kabur ke kolong ranjangmu.
3
Tapi perjalanan ini belum juga dimulai. Kautatap peta Hindia
terlipat dalam batok kepalamu, kaubayangkan satu-dua konser
Sweelinck atau keroncong lama menjemput kepergianmu, tapi
detik-detik tersangkut jam dinding, melenting ke percik ombak
di laut tak bernama, menyimpan bau bebiji lada, cengkih, dan
manisan buah pala. Apa yang paling penting sekarang? Mimpi
para perompak hantu berlayar dalam catatan sejarah terbakar,
atau sisa nafsu di mercusuar atau asap mesiu di palka perahu;
atau benteng dan moncong meriam yang teracu ke hidungmu?
Atau tarian senapan di balik keningmu dengan lagu dansa dari
piringan hitam yang sama? Atau tanduk kerbau dan lidah kelu
kuli-kuli; atau cambuk api – ladang tebu bersepah sisa nyeri?
Kini melankoli itu dihiasi tahi cicak, agak berjamur, tersungkur
di loteng berdebu. dan langkahmu tak juga beranjak dari ruang
tamu, dari halaman buku sejarah itu: kutu-kutu yang mencatat
kisahnya sendiri, para budak yang merompak mimpinya sendiri.
4
“Cornelis de Houtman, kau hampir tiba di akhir perjalananmu.”
Seperti lolong anjing mengendus jejak malam, memanjang dan
menyusut perlahan, dukejar kilatan cahaya lenyap di bukit batu.
suara-suara gaduh di telinga: gerutu, isak, ampuni bapak saya
-dentam peluru, sunyi dinding, piring dibanting, kaing-pintu,
seperti salib sumbu, atau moncong mungil berembun, perlahan
empat kaki mengendap di kebun mentimun, sehingga petani itu
memakinya…. kutu-bagero, luing-inlander, tungau-pencuri –
berbalik, situasi kini mulai sedingin dinding pagi, damai tanpa
tekanan. Bergantung santai pada jejaring liur berkilau seputih
kuntum lili, menunggu seekor lalat-bangkai terpikat berguling di
ranjang tidurmu: “Kini, kau tak lain seekor laba-laba hantu.”
5
Sepotong negeri terbuat dari sobekan peta, kecuali gigi tanggal
nyaris tiada kebenaran di sana, nasib seperti angin dan sengal
jarum jam, pena tak terpakai, membeku – seperti semut hantu
dalam pipa plastik, semua bagai mosaik. Sedengus napas sakal
membusuk di celah batu, menunggu malaikat maut menjemput
ampas keju di anusmu; tak berpintu, anyir dan lembab, kuburan
para pencuri dalam amplop tertutup. Langit berkilat: hujan abu
menjemput nisan pahlawan di buku telpon. Tak ada yang perlu
diubah, kecuali letak piring, cawan beling, dan garpu makanmu
-gromofon Hindia: menyala. Bayang jendela mulai berdansa:
hanya tungkai hantu dan bangkai belalang, hanya tumit hantu
dan bangkai belalang, hanya negeri hantu dan bangkai belalang
Sumber: Kompas, 21 April 2013