Puisi: Mantan Musikus Jalanan – Ragil Suwarna Pragolapati (1948-1990)

Ragil Suwarna Pragolapati (1948-1990)
Mantan Musikus Jalanan

         Seorang wartawan beli rokok di tokonya, baca koran eceran, mewawancarainya di bawah Bungur berbunga ungu. “Mau dikorankan lagi? Lho, belum bosan-bosannya wartawan menulis?” katanya nyengir. “Ya, 10 anakku kini sudah jadi sarjana. Biaya studi mereka? Hasil toko klontong ini, 55 %. Sisa 45 % dari hasil kerja ngamen!”

         Dia berumur 77. Jadi musikus jalanan pada umur 40 sejak 1950-an. Ia mahir memainkan semua instrumen dan pintar menyanyi. Dulu, dia tokoh orkes dan sering siaran di RRI. Dia berhenti ngamen ketika bungsunya sudah lulus dokter. “Aku menggugat pengamen masa kini!” protesnya sengit. “Cuma modal gitar, vokal jelek, bakat nihil, kok berani jadi pengamen. Walhasil, jumlah pengamen dilanda inflasi. Rumah orang sedang sibuk, 07.00-08.30, sudah dingameni. Tempo orang ngaso pada 18.00-22.00 masih diganggu pengamen. Siang, malam, melulu ngejar duwit. Ia merusak citra pengamen deh!”

         Selama 1950-1977, dia profesional jadi musikus jalanan. Instrumennya beragam. Gitar. Suling. Harmonika. Biola. Ketipung. Semua jenis lagu, bisa. Semua alat musik dia mahir memainkannya. Ia hanya mengameni rumah para langganan. Jika tuan-rumahnya paceklik duwit, ia ikhlas main gratis. Mau dibayar beras, gula, palawija atau snack. Dia cinta musik, ngamen tidaklah sekadar memburu duwit. Demi hobi, dia suka main gratis.

         Kini 10 anaknya jadi orang. Tokonya tetap dibuka, sekadar melayani langganan. Pecinta musiknya masih dikunjunginya gantian, tapi dia menolak bayaran. Ngamennya sekadar silaturahmi. Dia balas budi, tahu merekalah yang turut membiayai 10 anaknya studi sampai selesai.

Jakarta, 1986

Sumber: Salam Penyair (Bentang Budaya, Yogyakarta; November 2002. Pernah terbit terbatas pada 26 Februari 1989 oleh SYS; Studiklub Yoga-Sastrapers)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *