Marhalim Zaini
aku akan memanggilmu moluska, saat pasang naik,
dan lutut kita mulai menggigil di akar-akar bakau
yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa,
adalah binatang yang berbiak dalam kelamin kita
aku hendak bersembunyi saja di cangkangmu,
dalam rahim garam, begitu kau menjelma anak sungai
berkelok ke pedalaman jauh, ke dataran histosol,
tempat lahir ikan-ikan bunian berkepala naga
maka kita adalah sepasang ketam yang tak subur,
berpagut di tanah endapan di daun-daun yang tak terurai
dalam iklim basah ini, kita membunuh anak-anak kita
dengan membiarkannya bermain hujan, pada petang
yang tak lagi ada azan, tak lagi berjumpa yang tawar
pada asin, yang jantan pada betina, yang timur ditikam utara
angin yang kelak kita warisi dari cara kita bersenggama
berdesau-desau bagai muson dari arah laut, tersesat di selat
di ayat-ayat yang pernah kita rapat, ketika dewa atau tuhan
bercakap-cakap dalam kepala kita yang kosong, entah
apa yang membuat kita percaya, pada yang hampa
dalam hati kita, padahal seribu kilometer dari sini,
siklus hidup-mati seperti rekah bibirmu yang memucat
pada tiap hitungan jam, memerah kembali oleh matahari
padam kembali oleh hitam, begitu malam diam-diam
bersijingkat naik dari bawah rumah, merasuk ke sumsum
ke tulang lunak yang tumbuh dari masa kecil orang siak
orang yang suka minum air sungai berwarna coklat
maka jepitlah aku, moluska, dengan tangan-tanganmu
yang tajam, dengan rasa sakit yang dulu, ketika berdebum
kau dalam gulungan ombak bono, tanpa pemandu, di celah
pesisir timur, memanggil-manggil orang kampar
yang terdampar rupanya hatiku jua, dan hatimu pingsan
dalam kapal-kapal besar yang meninggalkan bandar
berlayar membawa rempah, lada dan timah, ke cina,
ke eropa, kepada tuan voc yang kerap membuang ludah
dan memanggilmu bovenlander, di depan para budak
yang memikul lada tigaratus bahar di atas pundak,
pedasnya membuat seluruh orang sumatera tersedak,
yang terbahak-bahak orang Batavia di hulu singkarak
maka jepitlah aku, moluska, sekali lagi di ujung musim
ketika pasang naik dari abad enambelas ke ujung kelamin
kau aku kelak, di semenanjung ini, tinggal menunggu
para pendatang dari rantau, membawa abu kitab-kitab
dalam tepak, dalam sirih yang dikunyah para datu,
disepah di atas pelaminan, disepah ke mukamu-mukaku,
sebab kawin mawin ini adalah bertukar hulu pada hilir
bertukar garam pada gula, beras pada gandum, besi
pada kayu, rempah pada meriam, yang tak semata habis erang
di atas ranjang, tak pula habis silsilah pada garis keturunan
tapi perang, tapi dagang, adalah tuhan juga, yang disembah
pada tiang-tiang harga di pasar, di laut yang tak berpagar
maka kukayuh saja kau, moluska, seperti menunggang
gelombang, agar tawar-menawar ini dapat kugoyang
kogoyang-goyang, sampai segala yang bernama pedang
bersarung di pantaimu, di lembab lembah gua pusakamu
dijepit capit kuasamu, sampai segala yang bersembunyi
di bawah dadamu, dalam cengkeraman sepuluh kakimu,
menjelma kerajaan baru, rumah kau-aku menyemai benih
anak-anak yang tak lagi takut bermain hujan, pada petang
yang pandai mengumandangkan azan, pandai mencecap
asin di air tawar, pandai menjadi pejantan bagi betina
pandai menakar angin utara yang berdesau-desau di timur
yang menikam-nikam selat dengan ayat-ayat yang sakat
di sungai indragiri, ketika emas melambung ke langit india,
dan masa depan bagai pasir hanyut ke negara tetangga
maka kujual saja kau, moluska, izinkan aku menukarmu
dengan uang logam dari cina, agar tak lagi dapat kupanggil
kau moluska, saat tengah malam, dan lututku menggigil
sendiri di atas bubung rumah, di bawah langit yang berlubang
dan yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa itu,
adalah sunyi yang berbiak dalam kelamin puisi-puisiku.
Sumber: Gazal Hamzah (Ganding Pustaka, Yogyakarta, 2016)