Puisi: Pertemuan di Paris – Lukman Nyoto (1925- hilang 1965)

Lukman Nyoto (1925- hilang 1965)
Pertemuan di Paris

Pagi di hotel “Crillon”
(aku datang dari “Napoleon”)
Bung Karno memeluk aku erat-erat;
(sejumlah menteri di seputar kami melihat)
Selamat jalan Bung Nyoto –
Salamku kepada kawan-kawan kita di Moskow.
Di chambre separo
kami diskusikan sensasi sehari sebelumnya;
sambil menghirup cafe dan vin rose
jatuhnya Chrusjcov dari tahta.
Kuceritakan betapa Bung Aidit menasehatkan
jangan diktatur proletariat dihapuskan –
sebab kalau ada usaha penggulingan?
Namun Chrusjcov bukanlah Chrusjcov
kalau tak bersikeras lagi tak dapat –
dia tersungkur oleh “negara seluruh Rakyat”!
Lalu berceritalah Bung Karno
bahwa dua minggu yang lalu di Moskow
bertengkar ia dengan tsar revisionisme itu
yang – pula karena kepala batu –
mendorong Bung Karno di Kairo berseru;
Hidup ko-eksistensi antara Moskow dan Washington!
Mana mungkin yang macam itu antara Jakarta dan London
atau Sihanouk dan Lyndon Johnson!
Kau kenal pengganti-penggantinya, tanya beliau, aku kenal.
Aku menggelengkan kepala, bukan kesal
Tapi gemas aku akhirnya bikin perbandingan;
Di sini di Paris berserakan striptease
Dengan pokalnya di Kongo, di Kuba, dan di Vietnam
bukankah revisionisme juga bermain striptease?
Arus tak kendat-kendanya di Seine
Manusia terus berkunjungan ke Montmartre,
Di kota 4 revolusi dan 5 republik ini
Tempat Marx dan Engels, Lenin dan Cachin pernah bekerja

udara tak sehangat Asia, di mana api
revolusi membakari sosok-sosok GI jengki
dan segala boneka dari Rachman sampai ke “Gurkha”.
Bersaam Szuma Wan-zen di Tour d’Argent, gelisah
aku merasa Tour d’eifel rendah
dan di Champs Elisee terasa benar Arc de Triomph lesu –
Kapan proletariat Eropa Barat ini bangkit menyerbu
Bastille-bastille abad kita
markas besar Nato dan armada-armadanya,
pangkalan-pangkalannya, tentara pendudukannya?
Di depan lift “Crillon”, di serambi bawah
kutatap senyum Bung Karno, lembut seperti seorang ayah –

dua pejuang berpisah sedang hati bertemu.
Reaksi dunia juga yang pilu.


Sumber: Harian Rakyat, 4 Juli 1965; dalam “Gugur Merah” (Merakesumba, Yogyakarta, 2008)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.