Puisi: Senja – Idrus Tintin (1932-2003)

Idrus Tintin (1932-2003)

      Seorang lelaki tua berjalan dalam gerimis. Waktu itu senja akhir tahun yang layu. Petang basah melengkung runduk menciumnya pada pipi. Bercermin pada genangan air nampak bekasnya warna kesumba.
      Kita dapat melihatnya dengan menyingkapkan kain jendela ini sedikit. Karena kau mau lebih jelas, kubuka jendela besar-besar: derit engselnya menyebabkan ia menoleh ke sini.
Marilah kita tunggu ketukan di pintu. Marilah kita tunggu ia tiba. Biar kusediakan teh secangkir lagi, dan tambahlah kue-kue, jangan yang ini, ya, yang lembut-lembut itu yang sesuai dengan kerentaannya.
      “Selamat sore,” katanya.
      “Selamt sore,” jawab kita.
      Gerimis di luar semakin tipis. Mega berbentuk kuda lewat di jendela, sempat mengigit pelangi dan membawanya lari. Gerimis pun habis. Detak detik jam menitik di atas meja.
      “Hari sudah hampir gelap,” kata orang tua itu.
      “Karena hujan,” kataku.
      “Tidak,” katanya lagi, “hari sudah hampir malam.”
      Aku bangkit memasang lampu. Terangnya berwarna susu, mengusir remang ruangan dan hati kita.
      Ia mengangkat cangkir ke bibir, mengesip manis air teh dan tinggalkan pahitnya dalam cangkir, dan berkata, “Kelahiran dimulai dengan tangis, dan jalan tangis itu cukup panjang.”
      Tinta malam telah mengecat kaca jendela. Selekeh jelaganya mengenai jendela.
      Di ujung lorong ini tidak ada lampu, kata orang itu lagi. “Aku akan meraba-raba mencari rumahku. Tapi kita tak perlu takut pada gelap. Pada mulanya adalah gelap, lalu datang terang kemudian malap, dan akhirnya kita akan masuk kembali ke tempat asal. Sederhana dan tak terelakkan.”
      Ia bangkit dan berkata, “Selamat Malam!”
      Orang tua itu berjalan dalam malam. Ia melangkah tertatih-tatih menuju ke ujung lorong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *