Sandy Tyas (1939-2009)
Surat untuk Sandy Tyas
tyas yang baik,
apa kabar nasibmu sekarang?
kulihat sebuah pestol
sedang ditodongkan ke tengkukmu
dan sebuah liang kuburan
sudah disiapkan di depanmu
tangis duka, bunga duka keluargamu
doa kematian, slamatan kematian
sedang menunggu waktu
mengalahlah dulu, seperti petuah jawa
orang yang mengalah
di tempat tinggi akhirnya
namun katamu pepatah russia menyebutkan
selagi kamu kecil jangan jadi babi
sebab jika kamu besar nanti
akan jadi babi besar
dan contoh babi besar itu kini
sedang mondar-mandir di matamu
berbaju safari, kacamata gaya mafia
tas kulit yang dijinjingnya berisi
rencana dan angka-angka semu
seorang pesuruh yang kurus tiap pagi
sebelum sempat sarapan dan minum kopi
harus nyemprot kamar kerjanya
dengan wewangian yang segar
karna sebagai dibisikkan pegawai-pegawai wanita
eh, babi kita sungguh lucu sekarang
ia berjubah putih tapi mukanya utuh coreng-moreng
semakin wangi kamar kerjanya
semakin busuk bau masa lalunya
semakin diputihkan mukanya
semakin pekat muka munafiknya
dan mata orang-orang tua yang arif
telah membaca glagat lakonnya
bahwa pohon yang tak berakar
takkan bakal tegak lama
anak muda yang gagap menangkap suara jamannya
bagai bunyi pepatah belanda
ia hanya mendengar gema lonceng
tapi tak tahu di mana anak loncengnya
orang yang seluruh hidupnya hanya
memikirkan perut
nilainya tak lebih dari
isi perut itu sendiri
kata pujangga islam
tyas yang baik,
hidup memang bukan soal untung-untungan
melainkan perkelahian
tapi perkelahian baik buruk
seperti barong dan rangda
adalah perkelahian lambang-lambang
bahwa kejahatan tak mutlak musnah
oleh kebaikan
betapapun toh kejahatan senantiasa kalah
jadi percayalah kau tak bisa dibunuh
setidak-tidaknya secara moril
namun memang dongeng sysyphus
bisa jadi benar
akan kau daki puncak gunung
sambil kedua tanganmu yang gemetar
mengangkat batu besar
selalu sebelum tiba di puncak
batu itu akan menggelinding ke bawah
dan kau akan balik dan mengangkatnya lagi
serta merta kuingat potretmu yang kabur masa lalu
ketika kau menangis kehilangan ibu
anak yatim yang luka dan terbata
hoyong dan menempuh kabut
terjerembab bangkit, terjerembab bangkit
seribu sembilu menyayat jasad dan rokhanimu
sampai piatu
oleh karena itu kau pun tahu pasti
apa artinya nestapa
apa maknanya luka
di dasar jiwamu mengendap sejuta sendu
orang-orang kecil yang mulutnya selalu ternganga
kering karna tanpa putus dahaga
digoda kelaparan dan digilas kemlaratan
tangannya menggapai langit
sementara kaki mereka tercencang
di lorong-lorong kota, gang-gang kotor pempat udara
mereka adalah sahabatmu sejak lama
bukan semata-mata karena kesamaan nasib
melainkan luka dunia yang berabad itu
mengusik mimpimu sehari-hari
namun ironinya di dalam sejarah
penyingkiran dan pembuangan
penjagalan demi penjagalan dilakukan
terhadap mereka
moral hanyalah kata
hukum hanyalah kata
kata hanyalah kata tanpa makna
di dalam pergaulan seperti itu
kaki berarti kepala
kepala berarti kelamin
kelamin sama dengan mulut
mulut sama dengan dubur
dubur berarti nilai
inilah kaca cerdas
jaman di mana kita hidup
mesin waktu berputar dan menggilas
sedang kau adalah komponennya
yang tak bisa lepas
digilas digilng lumat bersama
lengking, tawa, tai, racun, nilai
apa lagi yang tinggal abadi
kecuali penyair dan puisi
jadi,
sekarang duduklah tenang di kursi
siapkan kertas dan pena
untuk nulis puisi lagi
dunia misteri yang selalu kaurenungkan
tap jauh dari jamahan
betapapun ia adalah hakekatmu sendiri
kehadiranmu yang pasti wajahmu sejati
tak ada yang buram di sini
seperti urusan administrasi
babi bisa babi, bisa nabi
tapi puisi adalah puisi
harga mati dan hidupmu.
Sumber: Berkas Puisi Yang Hampir Hilang (Budaya Jaya, 1978)