Puisi: Sayang, Mari Belanja ke Pasar 16 Ilir – T. Wijaya (l. 1970)

T. Wijaya (l. 1970)
Sayang, Mari Belanja ke Pasar 16 Ilir

Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Beli ½ kilogram ikan gabus, bungkus dengan t-shirt seharga Rp8.500, tak ada yang protes, kecuali teman-teman yang tersesat di mall. Mereka mengintip kita dari perut berlipat yang terlihat puluhan pegawai negeri yang cemas akan istrinya. Bagai ikan salmon yang dilumuri coklat mencair, tak enak dibuat pempek.

Sayang. Bertahanlah di Pasar 16 Ilir hingga perahu ketek mengejar senja. Pasar 16 Ilir bukan hanya milik Belanda di balik awan masa lalu. Banyak dusun yang dilukis di kaki limanya. Perguruan tinggi yang menyusui sejarahnya. Perawan-perawan yang akhirnya bunting mengejar aromanya. Mereka bergulingan di antara tumpukan pakaian, tikus berlomba di jalan becek, dan para copet yang berbau ikan laut dan bawang merah, patah jari telunjuknya terinjak sepatu lars polisi.

Tak ada yang menakutkan dari Pasar 16 Ilir, kecuali jalan sempit dan parit-parit yang dibiarkan mampet, sebab pedagangnya melulu dicoret dalam persidangan anggota dewan.

Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke pasar 16 Ilir. Beli terasi udang dari Sungsang, lalu oleskan pada tubuhmu yang berkulit kuning, biarkan teman-temanmu di mall tertawa hingga terkencing di celana dalamnya yang robek. Tak ada yang berharga dari hidungku, kecuali setiap pagi aku membersihkan WC sehabis digunakan teman-temanmu yang sama; orang-orang miskin mencari suami di kota.

Sayang. Mumpung harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Belilah beras, kecap, garam, kangkung, bayam, dengan gaji buruhku. Kita makan tanpa AC dan musik klasik seperti di kampung dulu. Dan dulu, mall itu adalah kampung kita. Rumah kita. Taman bermain kita. Kebun kita. Harga diri kita.

2009

Sumber: Blog Taufik Wijaya, 16 Maret 2009

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *