Esai: Memompa dan Meledakkan Daya Puitik

Memompa dan Meledakkan Daya Puitik
Oleh Hasan Aspahani

PUISI adalah bagian dari seni sastra yaitu cabang seni dengan bahasa sebagai sarana utamanya. Bahasa itu sendiri salah satu fungsinya adalah alat berekspresi, selain yang terutama untuk berkomunikasi. Puisi mengambil jalan memanfaatkan fungsi ekspresi pada bahasa. Di situlah kekuatan puisi dipertaruhkan.

Harus lekas ditambahkan, bahwa puisi tidak berarti dengan demikian, mengabaikan aspek komunikatif bahasa. Dia harus tetap bisa terhubung tak hilang kontak, agar tak terjerumus menjadi puisi gelap, yang gagal berkomunikasi dengan pembaca.

“Sajak adalah sebuah karya sastra yang nilai seninya sangat tergantung dari kekuatan ekspresinya,” kata Subagio Sastrowardoyo, dalam sebuah esainya “Bakat Alam dan Intelektualisme” (Pustaka Jaya, 1971).

Tapi itu ekspresi yang bagaimana? Atau ekspresi apa? Dari Subagio kita mendapat penjelasan lebih lanjut bahwa untuk mencapai hasil sajak yang baik, di samping oleh bobot-bobot pikiran, nilainya ditentukan dengan sangat beratnya oleh daya ekspresinya.

“Nilai puitiknya terletak pada kepelikan pikirannya tentang dunia dan hidup, tetapi tidak kalah beratnya bergantung pada caranya penyair mengucapkan diri,” ujar Subagio.

Jadi, yang diekpresikan adalah pikiran atau pandangan tentang dunia dan hidup. Daya puitik, nilai seni dalam puisi, ditentukan oleh apa yang diekpresikannya itu. Adakah gagasan baru, cara pandang baru, atau penafsiran baru atas nilai kehidupan atau pemikiran yang sudah ada?

Akan tetapi, daya puitik itu, nilai seni dalam puisi itu, juga tergantung pada cara pandangan, gagasan, tafsiran itu diucapkan, dengan kata lain bagaimana puisi itu dituliskan. Di sinilah kekriyaan seorang penyair punya kesempatan untuk ia berdayakan, mengerahkan bila mana dan pada bagian mana dari puisinya itu ia harus memberdayakan perangkat-perangkat puitika yang ia kuasai.

Dari Subagio, kita bisa lihat perihal pembagian hakikat isi dan bentuk dalam puisi. Tapi kedua hal itu pada pandangan Subagio terkilas pendapat, sesungguhnya tak bisa dipisahkan. Keduanya serentak, bersama-sama, hadir secara utuh membangun atau menghadirkan daya puitik, puisi yang bernilai seni, atau puisi yang berhasil.

Apabila penyair mencomot begitu saja pandangan, rumusan hidup dan hakikat dunia ini dari apa yang sudah ada, maka yang ia hasilkan adalah sajak yang cacat oleh jargon atau metafora mati, atau perumpamaan yang basi, tempelan kata-kata yang seakan gagah tapi sesungguhnya kenes.

Tentu saja puisi yang kuat, bisa menyisakan potongan larik yang menjadi jargon. Dari Chairil orang mengingat: aku mau hidup seribu tahun lagi, hidup berlangsung antara buritan dan kemudi, atau hidup hanya menunda kekalahan. Dari Sapardi orang mengutip: yang fana adalah waktu. Atau dari Thukul: hanya ada satu kata: lawan! Tapi bait-bait itu tidak digubah untuk menjadi jargon, ia bagian yang utuh dan mengutuhkan keseluruhan puisi.

Kecuali penyair remaja yang baru hendak memulai mengecimpungi puisi, penyair yang berusaha sungguh menggali kedalaman dan memompa dan meledakkan daya puitik tak akan menulis sajak, “cintaku sedalam samudera dan rinduku bergelora seperti badai”. Itu perumpamaan basi,
jargon yang mati pucuk. Bahasa, hidup, dan dunia adalah ladang perburuan maha luas bagi penyair apabila ia mau dengan gigih mencari kekuatan ekspresi baru, yang segar, dan yang khas menjadi miliknya.

Jakarta, 30 Maret 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *