Sapardi: Apakah Saya Harus Mengatakannya dengan Cara yang Telah Basi

           Oleh Hasan Aspahani

SURAT itu dikirim di awal tahun baru 1964, dari Pengok DKA Blok E-16, sebuah alamat di Yogyakarta ke sebuah alamat lain yaitu redaksi sebuah majalah di Jakarta yang – semoga tetap pada tempatnya yang baik, atau lebih baik lagi

            Dua halaman ketik saja, dalam ejaan Soewandi.  Pengirimnya Sapardi Djoko Damono, penerimanya  H.B. Jassin.  Sapardi menulis suratnya di suatu siang yang sangat panas di kantor redaksi “Basis”. “Tatkala sudah letih benar,” katanya.

            Letih?

            Ini tentu saja bukan surat pertama Sapardi kepada Jassin.  Di dalam surat ini  ia menyebutkan bahwa ini adalah surat susulan dari surat yang mengiringi sajak-sajak Sapardi yang dikirim lebih dahulu ke alamat rumah Jassin.  Surat ini juga dilampiri sejumlah sajak.  Beberapa waktu yang lalu saya telah mengirim beberapa sajak langsung ke rumah, dan kalau saya tak keliru juga dalam surat itu saya berjanji buat mengirim naskah-naskah saya yang belum saya ketik. Nah, inilah mereka. 

            Tapi ada yang jauh lebih penting dalam surat ini, jauh lebih penting dari sekadar pengantar.  Di surat Sapardi ini kita menemukan semacam konsepsi dasar sajak-sajaknya dengan sangat jujur, lugas, dan berani. Ia menghantam penyair-penyair saat itu yang ia anggap telah mengkhianati puisi.   Beberapa orang penyair Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang menjijikkan dalam “mengangkat” puisi. Mereka telah kebingungan sendiri, mengira bahwa puisi telah kehilangan tempat berpijak dalam masyarakat, dalam pembangunan masyarakat.  Mereka pun berusaha berlagak hero-heroan. Dan berlagak menolong puisi dari “keruntuhan”. Dan mereka pun menciptakan “sajak-sajak” yang berisi pidato-pidato dan khotbah-khotbah tentang kemanusiaan dan pembangunan. Mereka telah mengkhianati puisi. Mereka telah mendesakkan “nilai” yang mereka anggap “praktis”, dan dengan demikian mendesak keluar puisi itu sendiri. Saya akan tetap menolak untuk menyebut sajak-sajak yang demikian itu untuk disebut puisi.  

            Mungkin ia bisa bicara lugas seperti itu karena toh ini adalah korespondensi pribadi. Ia percaya pada Jassin, sosok yang jadi lawan bicara dalam surat-menyurat itu.

            Siapakah mereka yang di mata Sapardi dicap telah menempuh langkah menjijikkan  mengkhianati puisi?  Esai Soeprijadi Tomodihardjo “Kemampuan Puisi, Kepada Penjair Heroik”, di lembar budaya Genta, majalah Merdeka, tahun 1957, tahun ketika Sapardi mulai menulis puisi, tujuh tahun sebelum Sapardi menyurat kepada Jassin ini, mungkin bisa jadi gambaran awal, bagaimana situasi yang dihadapi para penyair saat itu, dan tampaknya berkembang semakin parah hingga 1964. 

            Ada segolongan penyair, demikian kata Soeprijadi, yang karena mau mengingkari kelemahan daya puisinya lantas melarikan diri saja ke daerah nafsu heroismenya plus emotionalitetnya yang meluap, membuat sajak epos kecil-kecil dan mengirimkannya ke suatu lembaran kebudayaan dari suatu suratkabar terkenal. Dan dimuat. Begitulah mereka merasa sudah dengan tegas berdiri di pihak yang benar-benar membela kepentingan kaum tertindas. Ini persis seperti yang disinyalir Sapardi beberapa tahun kemudian.

            “Sepanjang pengamatanku terhadap mereka, tidak banyak kutemukan sajak yang benar-benar sajak, melainkan prosa-prosa singkat yang tersusun sistematis ke bawah, dan tak jarang lebih merupakan nada seorang orator daripada seorang penyair epos,” kata Soeprijadi.  

            Soeprijadi punya pengalaman yang baginya jenaka: ia menulis sajak seperti karya penyair-penyair heroik yang itu – sajak dengan tema-tema perjuangan kelas, pembelaan kaum buruh, revolusi – lantas ia kirim ke majalah-majalah sastra. Tentu saja ditolak. Lalu sajak yang ditolak itu ia kirim ke lembaran budaya dari surat kabar terkenal yang menjadi alat perjuangan partai – tentu dengan nama samaran  –  dan dimuat! “Dalam hatiku tak tertahan rasa geli serta sesal,” kata Soeprijadi.

            Nama Soeprijadi tahun itu mulai masuk jajaran penyair baru yang mulai diperhitungkan. Ini bisa kita timbang dari majalah “Budaya” Nomor Puisi (Maret/April 1957) yang ikut memuat sajaknya.  Diberi kata pengantar oleh penyair Kirdjomuljo, majalah ini terbit 100 halaman memuat 76 sajak pilihan dari 32 penyair, dari yang telah punya nama besar seperti Ajib Rosidi, dan yang baru muncul seperti Gde Mangku, juga dari golongan Lekra seperti Klara Akustia.  Inilah hasil sajak-sajak penyair tanah air yang layak dikemukakan hingga tahun majalah itu diterbitkan.  Pengantar Kirdjomuljo sendiri bernada keras. Sudah saatnya, katanya, nilai puisi Indonesia yang tumbuh dengan kesanggupan yang tidak kecil dalam jumlah, ditempatkan sebagai mana mustinya oleh pandangan dan tangan yang tidak lagi lunak. Untuk apa?  Agar bisa dipercepat tercapainya taraf puisi Indonesia yang cukup mempunya wajah dan ciri serta representatif sebagai penyataan kultur bangsa Indonesia.  Puisi Indonesia perlu stimulans, bukan timangan.

            “Jarang puisi Indonesia yang cukup dapat dikatakan suatu hasil pernyataan individu yang masak menghadapi kehidupan dengan segenap persoalannya, dengan tidak melupakan unsur artistik sebagai ciri utama. Melupakan unsur artistik sebagai ciri utama ini masih terasa dari sebagian besar puisi Indonesia,” kata Kirdjomuljo.

            Kirdjomuljo menutup catatannya dengan kesimpulan: Kita masih selalu menemukan kelemahan puisi hanya karena kurang pengolahan. Pengolahan yang tidak memperdulikan unsur artistik. Sekalipun ini bukan hal yang menentukan tetapi tidak bisa tidak dihiraukan. “Begitulah keadaan sebagian besar puisi Indonesia sekarang ini,” ujarnya.

            Tujuh tahun setelah catatan bernada peringatan Kirdjomuljo itu, keadaan tampaknya tak berubah, bahkan semakin parah. Itulah yang dirasakan oleh Sapardi yang telah menjadi bagian dan berada dalam atmosfer kesusasteraan yang menegangkan, yang memaksa penyair untuk menyatakan dengan jelas berdiri di mana, yang membagi mereka dalam pihak sana atau pihak sini.  Di pihak sana: sajak-sajak liris individualis adalah najis. Di pihak sini: sajak-sajak yang membela kelas tanpa estetika adalah pengkhianatan kepada kemurnian puisi. Di pihak sana: ideologi sastra yang benar adalah realisme sosial dan romantisme revolusi. Di pihak sini: sastra harus berpegang pada kemanusiaan secara luas, percaya pada humanisme universal.

            Situasi itu berkembang menajam sejak 1950 ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan, tepat pada tanggal 17 Agustus. Komunisme sedang di atas angin. Pada bulan Agustus tahun 1964, tahun ketika Sapardi meluahkan kekesalan hatinya kepada Jassin lewat surat itu, Lekra menggelar Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR).  Konferensi ini  diselenggarakan oleh CC PKI dan D.N. Aidit tampil gagah membuka dengan pidato referat, bahan yang dibahas dan ditanggapi dalam sidang-sidang konferensi.       

            “Ketika Manikebu (ini adalah istilah melecehkan yang diciptakan oleh PKI untuk Manifesto Kebudayaan) muncul, kaum Komunis seketika itu juga melawannya dan tidak lama kemudian Manikebu dilarang oleh Presiden Sukarno atas nama pemerintah, dan tuntutan Rakyat supaya kaum Manikebuis diritul makin santer dan luas….” kata Aidit, dalam pidatonya yang menghantam lawan-lawan politiknya.

            Pidato panjang Aidit menegaskan haluan PKI dan Lekra yang mengusung “Seni untuk Rakyat” dan menggasak seniman yang berkarya dengan meyakini “Seni untuk Seni”.  Mengutuk imperialisme Amerika dan ekspor budaya popnya, film, melarang rambut gondrong dan piringan hitam brengsek, musik ngak ngik ngok dan musik babi-cincang dengan penghulunya Beatles, mengutuk komik yang mengedepankan kepahlawanan individual, karena itu semua melucuti ideologi revolusioner rakyat dan memisahkan rakyat dari tradisi revolusioner dan perjuangan revolusi.            

Padahal Sapardi adalah penggemar berat The Beatles. Ia mengoleksi piringan hitam grup musik asal Inggris itu. Sebuah sajak ia tulis berdasarkan sebuah lagu Beatles “Because’. Ia kutip baitnya di bawah judul: Because the sky is blue, It makes me cry… dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya! dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya. Sajak itu tidak ia tulis, dan tentu juga tidak ia siarkan ketika John Lennon dan kawan-kawan jadi sosok yang diharamkan.

            Di bawah Lekra dan PKI, seni dan sastra adalah bagian dari revolusi, yang memanglimakan politik. Seniman, sastrawan, karya seni dan karya saya hanya bernilai jika menyuarakan revolusi. “Kita sudah mempunyai garis yang tepat di lapangan sastra dan seni yaitu garis 1-5-1, yaitu 1 asas ‘politik adalah panglima’; penciptaan yang meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner, dan 1 cara kerja yaitu turun-ke-bawah atau turba,” ujar Aidit dari atas podium Konferensi.

            Garis ini, katanya, telah teruji ketepatannya dalam praktek selama ini, dan telah menuntun sastra dan seni revolusioner memperoleh sukses-sukses yang menggembirakan.

            Kemana Sapardi berpihak?  Aku pun tentulah berpihak padamu, yang tengadah ke bintang tanpa berkedip dan bisu. Semakin terkucil ke dalam sunyi yang meletihkan. Sehabis berburu bayang-bayang sendiri – untuk membeku — tanpa berkedip, tengadah ke bintang: akupun pada pihakmu yang kaki-kakinya terkubur ke dalam bumi, sampai pada saatnya tangan-tangan yang kasar turun merebutmu dari bencana tak habis-habisnya bercinta denganmu.

            Sikap Sapardi sama seperti Soeprijadi yang tak penting benar harus memperjelas kediriannya. Soeprijadi menutup esainya dengan kalimat: mungkin sampai di sini belum juga teraba di pihak mana aku berdiri. “Yang terang adalah bahwa aku bukan seorang kosmopolis, dan juga bukan penggemar penindasan!” katanya.         

             Sementara Sapardi berpihak pada puisi:  baginya membela orang kecil lewat sajak, tak harus mengorbankan sajak itu sendiri. Ia berpihak pada mereka yang kaki-kakinya terkubur ke dalam bumi, mereka yang hidupnya direbut oleh tangan-tangan yang kasar! Sapardi memberi contoh bahwa puisi dengan pengolahan metafora yang cerdik, tak harus direndahkan menjadi pamflet untuk bisa membela kaum tertindas. Tapi bagi pihak sana itu tampaknya tidak cukup.            

            Dalam suratnya kepada Jassin, Sapardi menegaskan pendiriannya, menyatakan di pihak mana ia berdiri. Dalam suratnya kita bahkan mungkin bisa menangkap semacam kredo puisinya, filosofi puisi-puisinya, dan sikap dasar menyairnya. Ini bisa kita bandingkan dengan sikap tegas Chairil dalam pilihannya berkesenian, yang juga ia sampaikan lewat surat kepada Jassin.   

            Saya percaya sekali akan kekuatan gaib yang ada pada puisi. Kekuatan gaib yang selalu menantang kita buat bermasalah. Sesungguhnya bahwa puisi itu tidak lahir untuk menolong jiwa manusia, tapi untuk menjadikan jiwa manusia itu patut dan berharga untuk ditolong. Saya berusaha mendekatkan diri saya kepada mereka, langsung kepada nurani mereka, tapi sayang mereka mendengar dengan telinga mereka yang fana.

            Sesungguhnya ini rumusan sikap yang sangat unik dan luar biasa yang bisa dirumuskan oleh seorang Sapardi, seorang berusia 24 tahun kala itu, penyair yang kuat, sekaligus seorang bergelar Drs., seorang doktorandus, seorang sarjana sastra Inggris yang tentu  menguasai teori-teori sastra.  Pada tahun 1964, Sapardi telah menjadi penyair yang berkibar. Dan dia begitu teguh mempertahankan kepenyairannya.  Barangkali saja saya telah menjunjung puisi begitu tinggi, hingga saudara tak percaya.  Maka ketika ia lihat penyair-penyair menghamba pada politik, lalu beramai-ramai menghinakan puisi, Sapardi bereaksi keras!  Mereka itu hanya sekedar menyusun pidato-pidato dan khotbah-khotbah pembangunan dengan memperalat puisi. Mereka para penyair itu adalah pengecut yang takut kehilangan tempat dalam dunia sastra dan dalam pembangunan, dan berusaha menolong mereka sendiri dengan berkhianat. Terkutuklah, wahai.

            Mengejutkan, bahwa kalimat keras itu lahir dari seorang Sapardi! Ia memaki orang lain sebagai pengecut dan dia mengutuk! Pasti bukan person-personnya yang ia hantam, tapi sikap mereka terhadap puisi itulah yang membuat Sapardi meradang.  Ah! Tunggu dulu, ada soal lain, Sapardi, segeram-geramnya, ia masih sempat juga berkaca pada situasi itu: Apakah saya sendiri termasuk di antara mereka itu? Kalau begitu pula, terkutuklah saya ini kiranya!

            Apa yang bisa diharapkan dari para pengkhianat puisi itu yang mungkin juga dari kalangan teman-temannya sendiri?  Beberapa orang teman telah saya sodori sebagian sajak-sajak saya itu, dan anehnya mereka menganggap nilai mereka menurun. Tapi baiklah aku tak percaya kepada mereka. Lihat, betapa percayanya Sapardi pada puisi-puisinya. Betapa yakinnya dia bahwa mereka yang berpandangan dangkal itu salah dan sampai menilai puisi-puisinya. Waktu berpihak pada Sapardi, dan keyakinannya itu kelak terbukti benar belaka.   Selalu saya katakan kepada teman-teman itu bahwa mereka belum tahu apa maksudku, bahwa mereka belum bisa mendengar suaraku yang sebenarnya. Yang mereka dengar hanya sekedar suara dari kata demi kata yang nampak pada kata demi kata sajak-sajak saya itu.  Aha, lihatlah, kita menemukan sikap kuat seperti yang juga kita lihat pada Chairil Anwar pada tahun-tahun ia aktif bekerja di lapangan sastra.

            Sapardi menyair, karena …. ada selalu yang mau saya katakan dengan jujur kepada mereka lewat sajak-sajak itu. Tapi apakah saya mesti mengatakannya dengan apa yang telah basi? Dengan cara yang telah membusuk seperti apa yang telah banyak dipraktekkan oleh beberapa penyair modern dewasa ini? Saya tidak bisa.  Ya, sajak bukan soal berkata jujur. Sajak adalah cara mengucap. Dan pada cara mengucap itulah nilai sajak dipertaruhkan.  Sapardi menentukan sikap dengan tegas, ia mengulangi ucapannya: Saya tidak bisa.  

            Ada penyair dan ada penyair, kata Sapardi.

            Seorang penyair yang satu dengan tabah menghadapi persoalan masa kini yang menantang dan yang lain mencoba meloloskan diri, dan terlahir sebagai seorang escapistSapardi setuju bahwa menulis puisi memang sebagian untuk mengelak terhadap ancaman sekitar; tapi baginya yang lebih hebat dari itu adalah menulis untuk menghancurkan masalah-masalah itu.  Kita tidak untuk berusaha lepas dari dongeng-dongeng masa lampau atau buai impian masa datang. Tapi masa kini. Apa itu pujian-pujian yang kosong. Apa itu tembang-tembang yang memuakkan, meski indahnya bukan main. Kenyataan itu tak pernah indah, atau menggairahkan. Kenyataan selalu menggelisahkan, mengerikan dan menjijikkan.  

            Kepada Jassin, Sapardi berkeluh-kesah, melampiaskan kekesalannya. Kepada Jasin, Sapardi percaya. Kepada Jassin, Sapardi berharap.

            Kepada Jassin dan majalah “Sastra”. Di mata Sapardi, Majalah “Sastra” adalah majalah yang hampir menjadi mercusuar sastra Indonesia pada waktu itu. Dan itulah saya selalu berharap (dan segenap orang di segenap penjuru tanah air) agar nilainya juga mercusuar sastra. Saja sangat mengharap agar itu menjadi kenyataan. Demi harapan dan harapan segala orang.

            Kata Sapardi kemudian, Bukan begitu, Saudara Jassin? Dan kemudian sebuah salam hangat. Menarik untuk mengetahui apa balasan Jassin atas surat Sapardi ini. Apa reaksi balik Jassin atas kalimat-kalimat keras Sapardi?  “Sayangnya, beliau tak pernah membalas surat-surat saya, hehehe!” kata Sapardi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *