Esai: Mencari Irisan Ars Poetica & Kosmologi Masyarakat Bali

Mencari Irisan Ars Poetica & Kosmologi Masyarakat Bali

 Oleh Hasan Aspahani**

KE BALI semua orang ingin datang dan ingin kembali. Juga saya. Seperti banyak orang saya datang mula-mula sebagai wisatawan. Atau sekadar singgah sebagai tamu yang sibuk. Lalu kemudian saya datang lagi dengan suasana lain, dan rasanya rugi benar apabila saya datang kembali hanya sebagai pelancong.  Kepada Bali lalu saya ingin menjadi murid dan belajar.  Bali adalah kawan dan guru yang baik, yang kuat, yang utuh, yang seimbang, yang menentramkan, dan yang tak pernah kehabisan daya pikat.

Momen memuridkan diri pada Bali datang pada saya pada 2019 lalu ketika menyaksikan penyair dan gurunya para penyair Umbu Landu Paranggi berpidato*** dan menyebut Bali sebagai Pulau Sastra. Itulah sesejatinya Bali, kata Umbu.

Saya penasaran. Apapun perihal sastra mudah menarik perhatian saya. Lalu ada seorang sastrawan besar yang saya kagumi menyebut Bali sebagai Pulau Sastra. Saya bertanya, apakah beliau Umbu berlebihan? Tapi ketika saya mengulang-ulang membaca pidatonya, dan membaca kosmologi masyarakat Bali, saya segera sependapat dengannya.

Saya ingin melaporkan hasil belajar saya itu dalam kesempatan ini, tapi harus lekas saya sampaikan bahwa saya  di sekolah “Memahami dan Menjadi Bali” ini ada di kelas satu sekolah dasar, dan mungkin selamanya akan tetap di jenjang situ. Tapi saya yakin saya bisa menjadi murid yang baik. Dan Bali akan memberi saya berlimpah hal baik, pelajaran baik, pelajaran yang menuntun saya menjadi lebih baik.

Ada banyak jalan menuju Bali. Saya pun sampai ke Bali beberapa kali dengan berbagai cara. Tapi ada satu momen pertemuan yang bagi saya khas.  Jauh hari, saya bertemu Bali (yang lain) lewat puisi. Tepatnya puisi Goenawan Mohamad “Pada Album Miguel de Covarrubias”.  Sajak yang sama sekali tak berihwal Bali. Tapi nama pada judul itu yang saya lacak. Siapa dia? Dia seorang Mexico, seniman banyak bakat, pelukis, kartunis, penyair, penulis.

Pada 1930, Covarrubias berbulan madu, tiga bulan di Bali, dan kembali (lihat, semua orang kembali ke Bali, bukan?) lagi setelah juga melancongi Jawa, India, dan Vietnam, pada 1933. Pada 1937 bukunya, terbitlah “Island of Bali” buku yang dengan gemilang mengabarkan kemolekan Bali. Bali yang sudah dikenal dunia sejak 1920-an, lalu semakin termasyhur.  Buku yang seakan menjadi undangan terbuka bagi orang sedunia untuk bertandang ke Bali. Hingga 2015 buku itu masih saja diterbitkan dan diberi pengantar dengan pemaknaan baru. Covarrubias adalah murid paling depan di kelas “Memahami dan Menjadi Bali” yang saya bayangkan, dan saya kini duduk di salah satu bangkunya, bangku paling belakang. Tekun mencatat, menyimak, membaca apapun yang diajarkan oleh Bali.

 Pernyataan Umbu juga menjadi lembar lain pelajaran Bali untuk saya. Dalam pandang kearifannya, sastra bagi Bali bukan hanya pembagian genre puisi, prosa atau drama, seperti pemahaman modern, tapi melingkupi makna yang luas dari buku hingga senjata, juga yang tak tertulis, yang hidup dalam napas Bali dan orang-orang Bali.

 

Sastra dan Masyarakat

Sastra memang tidak pernah bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat. Ia berangkat dari masyarakat, di mana sastrawan adalah bagian daripadanya. Sastrawan mengambil bahannya dari kehidupan, dari masyarakatnya. Ia menggali dari dalam dirinya, tapi itu pun adalah hasil reaksi, penghayatan, pencerminan atau penangkapan segala apa yang ia terima dari lingkungannya, dari masyarakatnya.

Akan tetapi  karya sastra, sebagai hasil cipta seni, adalah wilayah yang otonom, dunia sendiri, dunia yang dijadikan dan diciptakan kembali, dunia dengan cosmich dan chaos-nya sendiri, seperti kata Chairil Anwar dalam pidato radio di tahun 1946, pada saat itu usianya 24 tahun. Dalam hal ini ia tentu bicara soal puisi. Sebagaimana manusia dan masyarakat itu dinamis, maka sastra terlebih lagi juga bergerak dengan kedinamisan lain. Ini risiko dari, kembali mengutip Chairil, proses penciptaan itu berbahan benda dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya.

Sastrawan, kata Chairil, mendapatkan bahan dari hasil-hasil kesenian lain dan tentu juga hasil sastra dari sastrawan lain.  Dalam konteks sastra Bali tentu saja itu bisa berarti banyak hal: aksara suci, mantra, lontar, dan wiracerita, (sebagaimana disebut dalam arahan sarasehan ini) juga tentu saja hasil sastra sejak awal sastra modern berkembang di Bali hingga hingga yang kontemporer hari ini. Juga hasil-hasil dan pencapaian seni yang lain.

 

Ars Poetica & Kosmologi Bali

Ars poetica saya berbasis apa yang dijelaskan Chairil. Ringkasnya begini: puisi adalah keutuhan dan keseimbangan isi dan bentuk. Unsur fisik dan batin tak terpisahkan. Hadir serentak, menyatu, seimbang, dan dinamis. Puisi lahir dari dorongan jiwa, yang diberi bentuk berwujud kata-kata. Puisi menjadi ada, dari tiada, setelah penyair menuliskannya, mengadakannya. Dari ringkasan itu saya ingin melihat irisan (bahkan juga kesesuaian) ars poetica ini dengan kosmologi Bali.  

Bila Chairil menyebut puisi yang menjadi adalah dunia yang lahir dari permenungan dan pergulatan manusia penyair, maka saya ingin memadankannya dengan kosmos, jagad, alam semesta, paduan Jagad Raya (makrokosmos) dan Jagat Alit (mikrokosmos) yang tercipta setelah Hyang Widhi memusatkan energi “Tapa”.

Bila puisi yang baik adalah apa yang dengan padan serasi menghadirkan isi dalam bentuk, maka dalam kosmologi Bali, alam dan manusia hadir sebagai kesatuan yang teratur dan seimbang. Manusia tak terpisah tapi menyatu dengan alam di luar dirinya. Hanya dengan itu manusia bisa “menemukan jati diri”, sebagaimana puisi, yang hanya dengan penyatuan yang serasi antara isi dan bentuk, maka makna yang luas dan dalam bisa tercipta, dan kesejatian Puisi tercapai.

Belajar hanya menjadi belajar apabila kita mendapatkan pelajaran. Saya belakangan hari makin percaya bahwa menjadi penyair bukan sekadar menghadirkan puisi, apalagi hanya menuliskan pusi, tapi juga adalah jalan untuk menjadikan diri dan hidup lebih baik. Kerap saya katakan yang lebih penting ketimbang menulis puisi yang baik adalah berbahasa dengan baik dan yang lebih penting daripada menjadi penyair yang baik adalah menjadi manusia yang baik.

Maka berpuisi bagi saya adalah proses dari menjalani hidup selaras dengan alam, segala yang diluar diri saya, mengalaminya, menyadarinya, menghayatinya, dan memaknainya. Yang terakhir itu, tentu saja, menghayatinya dengan menuliskannya menjadi puisi. Puisi harus menjadi hasil penghayatan, dorongan perasaan (kegelisahan, kesaksian, kesepian, kehilangan, dll) yang diberi bentuk. Tentu dengan perangkat puitika yang bisa dan dipilih untuk dipakai, metafora, simile, citraan, kontras, paradoks, hingga sampai pada kewujudan berkualitas puitik yang mengandung keutuhan (unity), kerumitan (complexty), dan kesungguhan (intensity).

Saya menemukan uraian yang paralel dalam hal ini dalam kosmologi Bali, terutama ketika mencoba memahami bagaimana energi tapa Hyang Widhi membuat azas kejiwaan (Purusa) dan kebendaan (Prakerti) bekerja, berpadu memadukan jagad besar (alam) dan jagad kecil (manusia), dalam proses berlapis, berjenjang, seperti lapisan-lapisan pemaknaan dan unsur-unsur puitika bekerja dalam puisi.  

            Alam benda (Prakerti), yang dipahami dalam kosmologi Bali terdiri dari tiga unsur (Triguna), yaitu Sattwan (yang terang dan menerangi), Rajas (yang aktif dan dinamis), Tamas (yang berat dan gelap), adalah energi yang bisa menjadi chaos, chaotic, tapi keberadaan Purusa membuat ketiga unsur kebendaan itu seimbang. Keseimbangan itu seperti keutuhan (unity) dalam puisi, juga  kesungguhan (intensity), apa yang terbentuk dari kerumitan (complexity) Triguna.

Yang semakin menarik dalam catatan saya ketika belajar pada Bali, pada kosmologi Bali,  adalah proses saya menghayati puisi tadi, yaitu, mengalami, menyadari, menghayati dan memaknai saya menemukan hal yang juga paralel dari kelanjutan berpaduan dua kontras azas Purusa dan Prakerti.  Ketika dipahamkan bahwa dari situ lalu lahir “Budhi” atau kejiwaan yang tinggi, lalu turun menjadi “Ahamkara” (kemampuan merasakan), dan “Manas” (berfungsinya akal untuk berpikir).  Seakan sebuah proses yang berkebalikan, tapi tentu tidak, sebab arahnya memang berangkat dari titik yang berbeda: puitika yang saya pahami berangkat dari manusia sebagai titik awal kepenyairan, sementara kosmologi Bali berasal dari Hyang Widhi. Keduanya bertemu di semua titik, pengalaman, kesadaran, penghayatan, dan pengalaman itu.

Nah, sebagai murid kelas satu SD di sekolah “Memahami dan Menjadi Bali” saya merasa sudah terlalu banyak bicara. Saya ingin mengakhiri dengan satu catatan lagi. Ketika akal berfungsi, manusia disadarkan tentang “Panca Tanmatra”, yaitu Sabda Tanmatra (sari suara), Sparsa Tanmatra (sari rabaan), Rupa Tanmatra (sari warna), Rasa Tanmatra (sari rasa), dan Ganda Tanmatra (sari aroma). Bukankah itu adalah semua unsur citraan (imagery) dalam puitika, dan kehadirannya adalah pokok dalam sajak imajis-liris?

Saya sudah dan sedang belajar dari Bali, berguru pada kosmologi Bali. Sekarang saya harus berhenti, mengembalikan semua pada Sang Guru, dan menunggu apakah saya akan dihukum berdiri di depan kelas karena telah lancang mencuri pelajaran, atau harus mengulang belajar lagi dari semula dengan pelajaran yang benar dari guru yang sebenarnya Guru. Tapi kini saya paham kenapa Mahaguru Umbu menyebut Bali sebagai Pulau Sastra, dan karena itu saya ingin kelak lulus dalam pelajaran ini dan menjadi Bali.  Menjadikan bersastra bukan sekadar menulis puisi, tapi terlebih lagi melakukannya sebagai “nyastra” – sebagai Bali melakukannya – yakni menyelaraskan kata dan perilaku. Saya percaya dengan jalan dan situasi itu, maka sastra – yang menyelaraskan dan menyeimbang yang benda dan yang jiwa, sekala dan niskala –  tak terkurung menjadi elitis, ia hidup dalam keseharian manusia.  Saya telah ke Bali, menemukan Bali, saya ingin kembali lagi, hingga menjadi Bali. 

 Jakarta, 1 Juli 2021.

* Disampaikan pada Widyatula (Sarasehan) Pesta Kesenian Bali XLIII Tahun 2021 bertema “Sastra Lingkungan Ritus Kata dan Testimoni”, 7 Juli 2021.

** Pengelola majalah “Mata Puisi”, situs www.haripuisi, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2020-2023).

*** “Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019: Sastra, Lingkungan, dan Kita”,  Taman Budaya Provinsi Bali, 10-13 Oktober 2019.

 

Bacaan:

1. Pidato Umbu Landu Paranggi – KemBali ke Bali: KemBali ke Kedalaman Akar-Dasar Sastra; www.tatkala.co.

2.  Konsep Kosmologi Masyarakat Hindu Bali; www.komangputra.com,

3. Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961 – 2001, (Metafor Publishing, 2001).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *