Anekdot: Rivalitas Sutardji vs Rendra

Oleh Doddi Ahmad Fauji

YANG saya suka dari salah satu gaya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah cara ketawanya yang renyah, kadang terpinkal-pingkal, menunjukkan betapa sedang riang dan girang hatinya. Rendra beda lagi cara tawanya, cenderung ngakak, tapi kadang tidak bunyi.

Dua tokoh ini, bukan hanya guru bagiku, tapi sudah seperti Bapak.

Maka betapa girang aku, ketika suatu hari di Banda Aceh, dalam acara Pekan Kebudayan Aceh, sekira Agustus 2004, atau 5 bulan sebelum peristiwa musibah dahsyat badai tsunami, aku bisa menyaksikan dua jawara adu baca puisi di salah satu panggung PKA itu. Penonton penggemar puisi tampak antusias. Gubernur Aceh Abdullah Puteh, hadir sebagai penonton kehormatan.

Tapi aku bertanya-tanya, kenapa itu dua bapakku tak mau duduk berdekatan.

SCB milih pindah ke belakang, berkerumum dengan yang lain. Rendra menemani Puteh, di barisan depan. Aku ke belakang juga. Ternyata lebih enak di belakang, karena bisa bersatu dengan jemaah hisapiyah (bisa merokok maksudnya).

Tardji baca puisi, aplaus membahana.

“Lagi….! Lagi….!” teriak penonton.

Tardji memang juara.

Rendra baca puisi, ternyata lucu. Baca puisi pertama, ia keluarkan kertas dari saku.

“Lagi….! Lagi….!” teriak penonton.

Rendra ini aktor teater kawakan. Selesai baca puisi pertama, ia pura-pura mencari sesuatu pada saku yang tadi ia mengambil kertas bertuliskan puisi. Kertas itu dilipat seperti surat, seukuran saku.

Seperti berpantomim, ia mengatakan dengan lengan, tak ada lagi kertas.

Penonton kecewa.

Rendra seakan berkata, tunggu, kucari di saku lain.

Ia menemukan lipatan kertas, dan menunjukkannnya ke penonton. Penonton senang. Rendra senyum, lalu baca puisi.

Adegan mencari kertas itu, sampai empat kali terjadi. Setiap kertas yang dilipat, ditaruh pada saku yang berbeda-beda. Kukira itulah strategi pemanggungan.

Penonton puas. Rendra turun panggung. Gubernur juga puas, menyambut Rendra, dan mencium pipi Rendra. Jemari telunjuk yang sudah siap pada kokang, otomatis memijit kokang kamera, dan adegan Puteh mencium pipi Rendra itu, terdokumentasikan.

Aku kembali ke belakang, dalam kerumunan jamaah hisapiyah.

Tardji tampak girang.

“Coba lihat foto tadi.”

Tahun 2004, wartawan sudah memakai kamera digital.

“Nah ini, hahahaha lucu, lucu. Kau bikinlah berita foto, judulnya Rendra dicium cowo. Orang gak akan tahu itu Gubernur…. Hahahaha!”

SCB girang melihat foto itu. Tentu tidak kumuatkan.

Baru kutahu, rupanya dalam sepanggung memang sebaiknya tidak ada dua bintang.

Doddi Ahmad Fauji, penyair, menetap di Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *