Anekdot: SCB Menyerang Balik Mahasiswa

Oleh Doddi Ahmad Fauji

MENURUT saya, Sutardji Calzoum Bachri bukan hanya eksentrik, namun cerdas dan taktis. Ingin saya katakan juga, ia amat galak, terutama kepada sastrawan/seniman seangkatannya. Kepada yang muda, seperti kepada saya, cenderung mengayomi, memberi nasihat, dan mendorong, pokoknya Tut Wuri Handayani pisan.

Saya pernah membaca buku kumpulan kritik SCB. Bisa bikin gerah itu para sastrawan. Daya telisiknya terhadap karya, tampak logis dan bernas.

Nah, ini masalah letak dia cerdas dan taktis, terutama bila berdebat, berdiskusi, atau diajukan pertanyaan yang menyodoknya.

Pada suatu kurun yang sudah lewat, dalam program Mahasiswa Bertanya Sastrawan Menjawab yang diselenggarakan oleh majalah Horison, dihadirkanlah itu SCB di Kampus UPI Bandung oleh Horison. Mungkin karena masih dalam suasana reformasi, beberapa mahasiswa UPI saat itu, ada yang tidak tendeng aling-aling bila mengeritik orang.

“Kenapa Anda datang ke kampus kami, hanya membacakan puisi yang itu-itu juga. Kami bosan. Kau tidak kreatif. Antologi puisimu hanya itu-itu saja (Red- O Amuk Kapak!). Baca Yang lain, kek. Kau kan punya antologi cerpen yang baru dibukukan, kenapa tak membaca cerpen yang lebih baru.”

Itu mahasiswa bertanya seperti itu sambil ngapurancang, alias melak cangkeng. Suasana tegang, sebab beberapa mahasiswa lain, siap menyerang SCB dengan serentet pertanyaan. Yang penting nanya, bernada menghakimi. Begitulah suasana kampus UPI kala itu,

Sutardji menjawab.

“Aku datang ke sini, jangan salahkan aku. Aku ini diundang oleh manajemen Majalah Horison. Jadi salahkan saja orang Horison.

Tapi sebentar, mereka juga tidak bisa disalahkan. Sebab mereka mengikuti pengakuan yang disampaikan oleh dosen kalian, Popo Iskandardinata. Popo itu yang perpuisian Indonesia kontemporer, apa yang tak selesai dikerjakan oleh Chairil Anwar dituntaskan oleh Sutardji. Dua penyair ini telah sampai ke puncak estetik.

Tapi Popo itu juga tidak bisa disalahkan, sebab ia sudah berkata jujur. Nah, masalahnya, yang disebut sampai puncak estetik itu Chairil dan Aku. Sekarang Chairil sudah mati, tinggal aku. Apa kira kalian senang aku berada di Puncak sendirian? Aku kesepiannnnnn….. Nunggu kalian, sampai kapanpun tak akan sampai ke puncak!

Lalu jika kalian bertanya kenapa karya Tardji hanya itu-itu saja. Ya itu juga jangan salahkan aku. Salahkan para pembaca. Tapi mereka sudah jujur. Kita juga bisa bertanya, kenapa sih Shakespeare terus yang difilmkan, dibaca di mana-mana? Ya karena karya Shakespeare itu bagus. Dia sudah mati 400 tahun lalu, masih saja dibaca. Karyaku kan baru kemarin sore, dan aku juga masih hidup. Tapi karena berkualitas, jadi aku lagi yang dipanggil. Masalahnya, kapan karya kalian akan berkualitas, biar kalian yang dipanggil?

Soal kenapa bukan buku cerpen yang dibacakan, perlu kalian tahu, aku duluan nulis cerpen. Baru dibukukan itu benar. Tolong akuratlah dengan data, perlihatkan kalian itu suka baca. Jangan pamer kebodohan di muka umum, pake teriak-teriak segala.

Aku balik bertanya, siapa di antara kalian yang bisa sampai puncak dan menemaniku agar aku tidak kesepian?”

Suasana jadi sunyi, mahasiswa pada diam, seperti gaang katincak.

“Ada yang mau bertanya lagi?” tanya moderator, alm. Wan Anwar kepada para mahasiswa.

Jep!

Doddi Ahmad Fauji, penyair tinggal di Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *