Beberapa Sisi Kepenyairan D Zawawi Imron

Oleh Hasan Aspahani

DESA itu bernama Batang-batang Laok. Jaraknya 21 km dari Sumenep, di ujung timur Pulau Madura. Desa itu terhampar di kaki bukit, di tengah bentangan sawah yang bertingkat-tingkat. Di antara sawah-sawah itu, tegak pohon-pohon kelapa. Sisi timur dan selatan desa itu dibatasi oleh hutan. Zawawi lahir, besar dan hingga kini ia masih menetap dan menulis puisi di sana.

“Saya selalu mendengar kokok ayam dan kicau burung-burung,” ujar Zawawi. Ada telaga kecil tak jauh dari rumahnya. Juga sungai kecil yang riciknya seperti nyanyian. Paduannya: desau angin dan gemerisik daun kelapa dan pohon siwalan. “Saya mendengar itu semua seperti suara zikir. Nah, di tengah alam yang sederhana yang memberikan keindahan dan penuh kegaiban itu saya dibesarkan,” kenang Zawawi, sebagaimana pernah ia paparkan dalam wawancara dengan Republika (19 April 1993).

“Saya mendengar itu semua seperti suara zikir. Nah, di tengah alam yang sederhana yang memberikan keindahan dan penuh kegaiban itu saya dibesarkan…”

Itulah alam yang amat dikenal oleh Zawawi dan menjadi khazanah imaji, bahan pengucapan, yang tak habis bagi sajak-sajaknya. Tapi bagaimana dia bisa tergerak menulis puisi, mengolah bahan-bahan itu menjadi puisi yang kaya imaji? Ia mula-mula terpesona pada syi’ir, syair tradisional Madura, dan ia mencoba menuliskan itu, tentu saja dalam bahasa Madura. Yang dia rasakan adalah upaya menghasilkan syi’irnya sendiri itu tidak mudah. Ketika ia tunjukkan pada gurunya pun penilaian sang guru membuatnya patah arang. Tapi justru itu yang menjadi titik balik penting bagi kepenyairannya.

“Ustad saya menilai bahwa bahasa Madura saya tak terlalu bagus. Ucapan itu membekas sekali. Maka setelah keluar dari pesantren, saya menulis puisi dalam bahasa Indonesia,” katanya.

***

Dialog di Bukit Kemboja (1992) adalah sajak D Zawawi Imron yang banyak dibicarakan setelah menang lomba puisi nasional yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi. Dari sajak itu kita bisa belajar bagaimana dia bekerja menghasilkan puisi-puisinya untuk kemudian kita bisa lebih menikmatinya.

Umumnya, sajak-sajak Zawawi bergerak antara yang liris-imajis dan yang epik-naratif. Dalam wawancara dengan Republika, Zawawi menjelaskan bagaimana ia menulis sajak “Dialog…”. Di sajak itu, dia tidak bercerita dalam alur yang terang-benderang, meskipun ia bicara lewat tokoh-tokoh yang berdialog. “Gaya penulisan saya tidak eksplisit dalam bercerita,” katanya.

Kadang-kadang Zawawi hanya bicara ironi, karena menurutnya dia memang tidak ingin menjelas-jelaskan dalam puisi. “Dan memang tidak bisa dijelaskan secara tuntas. Justru dari ketidakjelasan itu diharapkan ada semacam bias-bias yang bisa ditangkap,” ujarnya.
Kesamar-samaran pengucapan itu, menurutnya, bisa jadi dipengaruhi oleh puisi-puisi lama Madura yang hanya berupa sindiran-sindiran halus, sanepa-sanepa. Nasihat-nasihat yang tidak langsung, dan gambaran alam yang menjadi personifikasi manusia.

***

Lahir, tumbuh, dan hidup di tengah kultur masyarakat Madura yang religius disadari benar oleh Zawawi mempengaruhi bahkan membentuk puisi-puisi yang dia tulis. Sajak-sajaknya selalu bernafas religius, bahkan ketika ia tidak bicara soal religiositas.
“Tak ada hal khusus kenapa terjadi begitu. Faktor utamanya karena hidup dan kehidupan saya selama ini berada di lingkungan religius,” kata Zawawi. Pendidikan formalnya setelah SR adalah pesantren, ia berceramah, dan mengajar di pesantren. Ia membaca dan mengenal benar syi’ir-syi’ir atau sastra lama Madura yang umumnya mengungkap soal-soal keagamaan, misalnya indahnya surga, perilaku hidup sesuai panduan agama, riwayat nabi, dan tentang maut.

***

Puisi membutuhkan kerjasama antara penyair yang menuliskannya dan pembaca yang memaknainya. Sebagai penyair, Zawawi meyakini itu. Baginya puisi bukan segalanya. Puisi hanyalah salah satu sisi saja dari kehidupan manusia. Memang, puisi punya kekuatan, tapi penyair punya keterbatasan untuk memberdayakan kekuatan itu. Maka baginya, penting sekali seorang penyair mengetahui keterbatasan dirinya.

“Saya tidak pernah mengalami kehidupan politik, maka sulit bagi saya untuk menulis puisi-puisi yang bernada politik. Tahunya saya ya perahu, karapan sapi, orang tenggelam ke dalam laut, kemarau panjang, dan pak tani tak bisa bertanam, kembang-kembang tembakau yang bermekaran di ladang dan sebagainya,” paparnya.

Puisi bagi Zawawi tidak punya daya paksa. Puisi tidak bisa menyuruh orang untuk berbuat sesuatu seperti bunyi sebuah surat keputusan resmi. Tapi puisi menyasar pada hati pembacanya. “Tugas puisi ya memberi kesegaran-kesegaran rohani kepada manusia,” ujarnya.

“Tugas puisi ya memberi kesegaran-kesegaran rohani kepada manusia,” ujarnya.

Di situlah peran pembaca sebagai apresiator. Di situlah titik di mana kerja sama antara penyair dan pembaca saling membutuhkan. Penyair menawarkan kesegaran makna yang dengan itu maka puisi memiliki daya sentuh, sementara pembaca mengasah kemampuan apresiasinya sehingga menjadi peka untuk merasakan sentuhan dan kesegaran makna yang ditawarkan.

“Bahkan puisi yang ditulis seorang maestro seperti Chairil Anwar pun di hadapan pembaca yang tarap apresiasinya rendah bisa jadi tidak akan berbicara apa-apa,” kata Zawawi.

Sumber bacaan: Zawawi Imron, Madura, dan Puisi (Republika, 19 April 1993)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *