Oleh Hasan Aspahani
BUKU “Seni Mengarang” Aoh K. Hadimadja (Pustaka Jaya, 1972) membawa saya pada “The Dyer’s Hand and Other Essays” W.H. Auden (1907-1973). Buku itu pertama kali terbit pada 1948. Aoh mencantumkan sepotong kutipan dari buku itu Auden di halaman persembahan:
Kepada sastrawan muda:
“In our culture a would-be poet has to educate himself” – W.H. Auden. The Dyer’s Hand.
Kutipan itu sangat menarik. Ada nada paradoksal ketika kutipan itu dibubuhkan pada buku yang justru berpretensi hendak mengajari calon penulis. Itu bisa kelak kita dibicarakan, apakah menulis bisa diajarkan atau seperti kata Auden penulis harus belajar sendiri.
Saya lalu mencari buku itu dan menemukannya di www.archve.org. Buku itu sudah menjadi domain publik. Buku itulah yang saya baca, dan tulisan ini adalah tanggapan, petikan, dan komentar saya atas bacaan saya itu.
Jejak Auden dalam perpuisian di Indonesia bisa ditemukan lewat terjemahan Chairil Anwar. Chairil menerjemahkan “Song XXIII” yang olehnya diberi judul “Lagu Orang Usiran”. Terjemahan itu dimuat dalam Karya, Thn. III, No. 4 April 1949. Sebagian kemudian juga dimuat di Serikat, Thn. I No. 12, 15 Mei 1949.
Jejak penerjemahan itu menandai semacam arah baru orientasi persajakan yang hendak dikembangkan Chairil, dari para penyair Belanda pada awalnya ke penyair Amerika. Pada kurun yang sama ia juga menerjemahkan Conrd Aiken dan Archibald MacLeish.
Auden adalah penyair yang juga menulis kritik. Dan dua peran itu bisa dilematis. Dari pengantar pada bukunya itu kita bisa dapat gambaran bagaimana posisi sosial dan ekonomi penyair di Amerika pada masanya.
Auden menulis: adalah fakta yang menyedihkan dalam budaya kita bahwa seorang penyair menghasilkan lebih banyak uang dari menulis atau berbicara tentang karyanya daripada yang bisa dia dapatkan dari menulis karya puisinya itu sendiri.
Saya tak tahu persis apakah kini situasi di Amerika masih seperti yang disebut Auden. Apabila masih begitu, maka situasinya tak beda jauh dengan di Indonesia, bukan? Sejak mulai menulis puisi saya melakukannya karena saya suka dan merasa perlu menulis puisi. Saya tidak hidup dari situ, meskipun buku-buku puisi saya ada juga yang mengalirkan sedikit royalti. Saya tak pernah berharap dari uang banyak dari situ, juga dari membicarakan puisi saya.
Mencintai puisi dan merasa perlu menulis puisi ternyata penting. Dan memang itulah yang penting. “Semua puisi saya ditulis karena kecintaan saya pada puisi; secara alami, ketika telah saya tuliskan sebuah puisi, saya mencoba untuk memasarkannya, tetapi prospek pasar tidak ada kaitannya dengan proses penulisan puisi itu sendiri,” ujarnya dalam tulisannya.
Lalu bagaimana dengan kritik? Auden tidak menulis kritik karena ia mencintai kritik atau dalam kaitan dengan kecintaannya pada puisi. Ia menyebutkan bahwa ia tidak pernah menulis sebaris kritik kecuali sebagai tanggapan atas permintaan orang lain, sebagai materi kuliah, pengantar buku, atau ulasan di jurnal.
Auden seperti berseloroh ketika ia meyebut, “Meskipun saya berharap ada juga rasa cinta menyelinap ke dalam tulisan (kritik) saya itu, tapi saya menulisnya karena saya butuh uang.”
Lalu apa fungsi seorang kritikus bagi Auden yang penyair itu? Atau dengan kata lain bagaimana sikap Auden ketika ia menulis kritik? Apa yang ia harapkan dapat ia berikan kepad pembaca kritiknya? Kritikus dan kritiknya bagi Auden adalah pelayan, yang ia harapkan memberi kepada pembaca enam hal:
Pertama, kritikus dan kritik memperkenalkan sosok penulis lain atau karya lain kepada pembaca yang sebelumnya hingga ia membaca kritik itu tidak ia ketahui.
Kedua, kritikus dan kritiknya bisa meyakinkan pembaca bahwa mereka telah meremehkan seorang penulis atau sebuah karya karena belum cukup baik membacanya.
Ketiga, kritikus dan kritik diharapkan bisa menunjukkan hubungan antara karya-karya dari berbagai zaman dan budaya yang tidak pernah dibaca sendiri oleh pembaca kritik yang tidak pernah dan tak akan pernah mengetahui hal itu keculai dari kritik tersebut.
Keempat, kritikus dan kritik memberikan “pembacaan” dari sebuah karya yang meningkatkan pemahaman pembaca kritik tersebut atas karya yang dikritik.
Kelima, kritikus dan kritik bisa memberi pencerahan pada proses “Penciptaan” artistik.
Keenam, kritikus dan kritik bisa memberi pencerahan dalam melihat hubungan seni, kehidupan, ekonomi, etika, religiositas, dll.
Tiga hal pada bagian pertama menuntut syarat akademis dan wawasan sejarah, tiga hal berikutnya menuntut kritikus punya kebijaksaan dan kemampuan memberikan pencerahan. Menjadi kritikus dan menulis kritik memang bukan perkara mudah. Makanya, orang ramai memilih jadi penyair saja, ketimbang menulis kritik.
Jakarta, 31 Mei 2020.