Goenawan Mohamad (l. 1941)
Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan
mayatnya di tepi pemetang. Telungkup. Seperti mencari
harum dan hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin pipinya
jadi aneh, di bawah bulan. Dan kemudian mereka pun
berdatangan – senter, suluh, dan kunang-kunang – tapi tak
seorang pun mengenalinya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikanlah suara-Mu.”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang
luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda
meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu, ia tak bernama.
Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar. Ia tak ada yang
menangisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan
agamanya?
“Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di
halaman pertama. Ada seorang yang menangis entah mengapa.
Ada seorang yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang
anak yang letih dan membikin topi dari koran pagi itu, yang
diterbangkan angin kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang
layang-layang, semua bertopang pada cuaca. Lalu burung-
burung sore hinggap di kawat-kawat, sementara bangau-
bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan yang gundul
dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”
1971
Sumber: Asmaradana (Grasindo, 1992)