Beat
MEREKA merayakan spontanitas, kebebasan, bahkan keliaran ekspresi dalam karya. Mereka menolak apa yang mereka anggap disiplin kaku sastra sekolahan, moral borjuis yang lembam, kapitalisme yang memeras kaum pekerja seraya menyihir kaum konsumen, serta arah politik yang bergerak menuju perseteruan dan kehancuran dunia. Dan itu semua bagi mereka bukan sekadar teori. Dalam bauran antara putus asa dan asyik masyuk, humor dan sinisme, mereka menjalankan perlawanan itu dengan sebentuk budaya tandingan dalam hidup sehari-hari: merekalah kaum bohemian yang menampik aturan umum, berlaku gila-gilaan, bergaya urakan bahkan gembel, dan bereksperimen dengan obat-obatan pengubah kesadaran.
Pada awal 1950-an mereka mulai berkeliaran, terutama di pesisir California, di mana langit masih cerah dan bayang-bayang tradisi tak terasa berat menggelantung. Di Inggris kala itu muncul istilah angry young men: anak muda yang berontak melawan segala bentuk kemapanan. Sementara di pantai barat Amerika itu, dengan semangat yang tak banyak beda namun dengan ungkapan yang lebih berwarna-warni, tengah bangkit sebuah generasi dengan sensibilitas baru: kaum Beat. Nama ini (konon diperkenalkan oleh seorang bernama Herbert Huncke dan diperluas penggunaannya oleh Jack Kerouac) merupakan paduan konotasi kata beat-up (aus, usang, bobrok)—termasuk segenap asosiasinya dengan “timpas”, “kalah”, “terbuang”—dan upbeat (ceria, bersemangat) serta beatitude (sukacita, kebahagiaan) yang memiliki bobot alusi religius.
Allen Ginsberg, Gary Snyder, Jack Kerouac, William Burroughs, dan Lawrence Ferlinghetti adalah sejumlah sastrawan pemuka generasi Beat yang merupakan “nenek moyang” Generasi Bunga atau kaum hippie sedasawarsa kemudian. Di tangan mereka, sastra bukan hanya permenungan yang tersurat di kertas, melainkan juga pertunjukan trance maupun protes di podium, atau laku asketik maupun pembangkangan di jalanan. Dan sebenarnya agak sulit meringkaskan mereka sebagai kelompok yang memiliki suatu kecenderungan bersama. Masing-masing bergerak dengan gaya dan tema yang berlainan, serta mengundang reaksi berbeda dari kalangan di luar mereka.
Larik pembuka sajak “Howl” (1956) karya Ginsberg—yang sempat diperkarakan di pengadilan karena dituduh cabul, meski akhirnya bebas—adalah suara meradang yang dengan nyaring meneriakkan kerisauan zaman itu: I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked….