Esai: Harga dan Gengsi Bahasa Melayu

Kenapa Kita Menulis Puisi? (6)

Harga dan Gengsi Bahasa Melayu

Oleh Hasan Aspahani

NAMANYA Jan Huijghen van Linschoten (1563 – 1611). Ia seorang saudagar, pedagang dan hisrorian. Pada masanya gabungan dari profesi-profesi itu juga berarti seorang penjelajah, pengembara. Pengembaraannya pun sampai singgah di kepulauan Nusantara, ketika masih dalam kuasa Portugis. Ia lama berdiam di Kerajaan Goa. Salah satu laporannya adalah keterpesonaannya pada bahasa Melayu.

Catatan Linschoten terbit dalam buku “Itinerario” (1596).

Ketika berada di Malaka, dia membuat catatan, “…dan bahasa ini, bernama bahasa Melayu, amat termasyhur dan dipandang sebagai yang teramat halus dan yang terbaik untuk seluruh Timur, dan orang-orang Melayu itu laki-laki dan perempuan, menyatakan bahwa tak ada bandingan bahasa ini di atas dunia ini. Mereka mempunyai banyak macam lagu, puisi, dan lain-lain lagu percintaan, yang mereka pergunakan secara menakjubkan dan yang amat mereka banggakan; dan barang siapa di Hindia tidak pandai berbahasa Melayu itu, tak dapat dibawa turut serta, seperti juga pada kita bahasa Prancis…(Hooykas, 1951)

Catatan Linschoten menegaskan satu hal bahwa bahas Melayu memang sedemikian luas penyebarannya sebagai lingua franca, juga menjadi bahasa yang memenuhi kebutuhan estetis, sarana ekspresi untuk dinyanyikan, dengan berbagai irama lagu, dan bersajak.

Kedua hal itulah yang membuat harga bahasa ini menjadi tinggi. Ia praktis dan efektif untuk menyampaikan gagasan-pikiran dan juga berkelas dan memenuhi kebutuhan mempernyatakan isi hati dalam bentuk-bentuk perpuisian yang juga berkembang dalam bahasa itu.

Pada kurun itu, beberapa penulis-penjelajah lain, telah pula mencatat dan memperkenalkan puisi dan cerita Melayu, seperti dilakukan Logan dalam “Journal of The Indian Archipelago”.

Bahasa Indonesia dan puisi kita hari ini terpaut dan terlibat dalam sejarah panjang bahasa Melayu, bahasa yang telah berkembang dan kita dikembangkan hingga bentuknya hari ini. Bahasa yang sejak dahulu dipandang setara dengan bahasa lain yang telah dianggap maju di bagian lain di dunia.

Bacaan:

  1. C. Hooykas, “Perintis Sastra”, Terj. Raihoel Amar gl. Datoek Besar (J.B. Wolters – Groningen, Jakarta, 1951)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *