Esai: Ketidaklangsungan, Isi yang Mencari Bentuk

Kenapa Kita Menulis Puisi (7)

Ketidaklangsungan, Isi yang Mencari Bentuk

Oleh Hasan Aspahani

PUISI adalah retorika. Adalah ungkapan diplomatis. Cara ucap yang bisa dipilih di antara berbagai cara lain. Isi yang mencari atau dicarikan bentuk tertentu yang paling sesuai dengan isi itu sendiri. Ketika ada yang tak bisa dijelaskan dengan gamblang, tapi seseorang harus menjawab juga maka ia menjawab dengan syair.

Saya ingin mencuplik sepenggal bagian dari risalah ‘Arsy Almuluk’ (1818) karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri (diperkirakan lahir 1790), seorang pemikir, penulis nusantara, ulama yang lahir di Palembang, berdarah Arab bermukim di Betawi.

Naskah yang berarti “singgasana para raja’ itu dimulai dengan pertemuan penulis dengan “saudaraku Tuan Khatib Abdul Salam ibni Orang Kaya Bijawangsa, wazir orang Melayu Petapahan.

Sang Tuan Khatib digambarkan sebagai seorang yang menguasai ilmu fikih dan ilmu tasawuf, ilmu syariat dan ilmu hakikat. Orang yang bijaksana membicarakan ilmu dunia dan akhirat.

Naskah itu berisi uraian tentang kewajiban menaati raja yang baik dalam sudut pandang ajaran Islam.

Ada bagian percakapan ketika penulis dengan sang Tuan Khatib bertanya jawab, kenapa sang ulama tak pulang ke Petapahan? Sang ulama menjawab dengan syair – dengan manis bahasanya dan fasih lidahnya – puisi yang lazim pada masa itu.

memecahkan kaca yang baik itu terlebih mudah
daripada membaiki dia apabila ia pecah

Dalam percakapan berikutnya ada beberapa syair lagi, melanjutkan atau terkait dengan syair yang pertama ditampilkan ini. Secara bentuk ini bukanlah seperti syair dengan empat larik dan berima akhir, sebagaimana kita kenal dalam sastra Melayu Lama.

Apakah pada dekade kedua Abad ke-19 itu kata syair juga dimaknai secara generik untuk menyebut bentuk-bentuk bahasa yang secara khusus disusun berbeda dengan bahasa biasa. Barangkali begitu.

Dalam “Tajussalatin” (1603), tiga abad sebelum “Arsy Muluk”, Bukhari Aljauhari, menyelipkan bentuk yang ia sebut, syair, matsnawi, qit’ah, ruba’i, serta ghazal. Bisa dipastikan sisipan bentuk-bentuk puitik itu adalah ciptaan dia sendiri, karena syarat dalam salah satu bentuk adalah menyebutkan nama pribadi penulis, dan beberapa memang ditegaskan sebelum penyisipan bahwa itu adalah karya dia sendiri.

Saya menduga inilah teks dan naskah yang pertama kali memperkenalkan bentuk-bentuk puisi dalam bahasa Persia itu ke dalam bahasa Melayu. “Tajussalatin” dipastikan menyebar pengarus besar dan luas lewat penyalinan, di berbagai kerajaan di nusantara. Menarik sekali melihat perkembangannya, tiga ratus tahun kemudian. Yang disebut syair dalam “Tajussalatin” tak lagi ada jejaknya, tapi ruba’i, sajak empat baris itulah yang kemudian menjadi syair, sebagaimana kita lihat pada bentuk tetap dalam karya syair Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.

Apa maksud syair itu? Penulis menjelaskan: merusakkan hati itu lebih mudah daripada membaiki hati yang sudah rusak. Ada perumpamaan dalam syair ini. Ada metafora. Dengan mengucapkan syair itu Tuan Khatib telah menghormati tamunya yang bertanya.

Begitulah syair digambarkan hidup dalam kehidupan pada masa itu. Syair adalah bagian dari percakapan sehari-hari, menjadi cara ucap untuk hal-hal yang tak bisa diungkapkan secara terang-benderang. Dalam tata-krama kehidupan saat itu, juga kini tentu, ada hal-hal yang tetap harus didiamkan dalam keremang-remangan. Itulah salah satu dasar puitika dalam bahasa Melayu: ketidaklangsungan. Menjawab tapi tidak menjawab. Diungkapkan tapi dalam bungkus perumpamaan.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *