Esai: Jalan Puisi Tjak S. Parlan, Jalan ke Kesadaran

Jalan Puisi Tjak S. Parlan, Jalan ke Kesadaran

Oleh Hasan Aspahani

MENULIS puisi, memberi bentuk pada pikiran, perasaan, gagasan, lintasan momentum, yang kerapkali tak jelas belaka itu, apabila dilakukan terus-menerus dalam rangkaian proses yang diikat oleh kegandrungan yang kerapkali juga tak terjelaskan, akhirnya akan membentuk sikap pemahaman penyairnya pada puisi, bahasa, dan kehidupan.

Apabila penyair melakukannya dengan kesadaran akan medan konvensi yang ia geluti dan terus-menerus mengolah keterampilan yang makin ia mahirkan maka sikapnya pada puisi, bahasa, dan kehidupan itu akan mudah ia arahkan pada satu wilayah khusus yang menjadi khas, milik dia.

Dan dengan kekhasan itu penyair menambah keberagaman pada makna kehidupan, memperkaya bentang perpuisian, dan membuka lagi potensi ekspresi-estetis atau fungsi puitik Bahasa, medium utama seni puisinya.

Sajak yang khas lahir dari sikap yang khas pada puisi, bahasa, dan kehidupan itu. Para penyair terkemuka kita telah membuktikannya. Kekhasan, kepribadian dalam karya puisi, justru lahir dari sikap yang khas itu. Penyair yang telah mencapainya bisa dengan leluasa beralih dari tema satu ke tema lain, dari gaya ucap satu lalu mencoba yang lain, tanpa kehilangan kepribadian itu.

Chairil dalam tiap puisinya dengan gigih mengorek kata hingga ke intinya, melewati berbagai tingkat percobaan agar tercipta sajak yang menjadi, sebuah dunia baru yang mampu dia jadikan. Sutardji Calzoum Bachri dengan operasi linguistis kredonya, ingin menciptakan suasana yang bebas pada kata dan dengan demikian kreativitas dimungkinkan. Sapardi Djoko Damono dengan puisinya tak ingin menjadi nabi yang menebarkan petuah tapi juga tak mau menjadikan puisi sebagai ocehan permainan bahasa anak-anak belaka tanpa makna.

Tjak S. Parlan (lahir 1975 di Banyuwangi, kini menetap di Ampenan, Lombok, NTB) saya nilai telah sampai pada titik itu dalam perjalanan menyairnya. Puisi baginya adalah jalan. Berpuisi adalah berjalan.  Buku puisi yang pertama “Cinta Tak Pernah Fanatik” (Rua Aksara, 2021) adalah ajakan untuk bersamanya melakukan perjalanan itu. Ia tahu jalan yang hendak ia tempuh adalah jalan sunyi, dan penting, tapi tak banyak yang peduli, sebab dalam hidup ini manusia punya pilihan simpang jalan yang lebih menggoda.

Tapi siapa tahu, bukan? Aku dalam puisi Tjak S. Parlan adalah orang yang hendak mengingatkan kita agar tak tersesat (… jalan-jalan / yang kerap kuhapalkan namanya untukmu / hanya agar tak tersesat, ke jalan lain,…).  Hidup adalah hari-hari mendung, hari yang tak sempurna, yang mengandung ancaman, yang mungkin belum tentu hujan tapi pasti remang, dan matahari terhalang. Dan waktu adalah jalan yang ketika kita diam dia terus memanjang, membentang jarak untuk kita dari segalanya.

Puisi pertama di buku ini, “Jalan Puisi”, pasti telah dipertimbangkan dengan matang untuk diletakkan sebagai pembuka. Apa yang saya kutip untuk paragraf sebelum ini berasal dari bait ketiga sajak tersebut. Ada baiknya kita tampilkan penuh, sajak penting ini untuk memahami sikap Tjak S Parlan terhadap puisi:

Sajak ini sungguh memikat saya. Sajak ini bagi saya mungkin mampu menandingi – dan pasti melengkapi – sajak “Mata Penyair” (1995) – Subagio Sastrowardoyo (1924-1995). Subagio dengan sajaknya mengetengahkan persoalan ketakselarasan harapan antara pembaca puisi dan penyair di mana yang pertama berharap puisi bisa mengubah dunia yang kacau balau jadi emas (dalam sajak dipakai perumpamaan pasir yang tercecer di jalan menjadi emas). Tjak S. Parlan menjelaskan ketegangan serupa dengan cara lain yaitu tarik-menarik antara penyair yang dengan sadar dan rendah hati mengambil peran sebagai pemberi peringatan dan manusia yang dengan kesibukannya yang kerap kali tak penting terus-menerus menimpa suara peringatan itu.  

Jalan Puisi

Siapa yang peduli
dengan lengang panjang ini

– jam-jam tidur yang terlampaui.

Kamu di mana,
ketika jam-jam kerja yang baik
tak berpihak pada kesempatan puitik kita.

Sementara di luar, siang sedikit mendung
dan terus memanjang serupa jalan-jalan
yang kerap kuhapalkan namanya untukmu
hanya agar kita tak tersesat, ke jalan lain,

selain puisi.

Tapi siapa yang peduli,
orang-orang akan terus berjalan
atau bekerja atau bertengkar atau
tertawa atau menepi
hanya agar tak tersesat

ke jalan puisi.

Apakah puisi itu kebenaran? Bukan. Tapi kesadaran. Kesadaran apa? Kesadaran bahwa hidup ini tak melulu kerja badani belaka, apa yang disebut dalam sajak ini dengan larik ini: Kamu di mana, / ketika jam-jam kerja yang baik / tak berpihak pada kesempatan puitik kita. Padahal hidup bukanlah hidup, dan diri kita tak aka jadi diri kita, jika tak terbentuk juga oleh kelengangan panjang, “jam-jam tidur yang terlampaui”, momen untuk bermesra-mesra dengan ketenangan, kesenyapan, momen untuk meninjau,  menginstrospeksi. 

Jalan puisi adalah jalan mengingatkan, mengembalikan ke kesadaran tentang kontras-kontras dalam kehidupan ini. Ya, hidup memang kontradiksi yang kekal. Bahkan mungkin oksimoron. Apabila jalan kesadaran itu membawa ke kebenaran, apapun kebenaran itu, itu sesungguhnya di luar urusan puisi. Itu sudah melampaui puisi.     

Ketegangan antara “tak tersesat ke jalam lain selain puisi” dengan “tak tersesat  ke jalan puisi”, bukanlah ketegangan yang teatrikal seperti adegan dalam puisi Subagio ketika orang-orang mencongkel mata penyair tapi tak mengubah apa-apa dan kecewa lalu merebus dan memakannya tapi justru tanpa mata penyair melihat kota begitu indah. Tapi kedua ketegangan itu sampai pada satu titik permenungan yang sama: betapa senjang jarak kesadaran yang harus ditaklukkan oleh penyair dengan puisi, dan penyair yang seperti Tjak S. Parlan, mencoba hendak melakukan tugas penaklukan itu.

Berbeda dengan Subagio, Tjak S. Parlan tak mengkonfrontasikan penyair dengan publik yang anti-puisi, ia hanya mengingatkan bahwa jalan baik bernama puisi, oleh mereka yang anti-puisi bisa dianggap justu sebagai jalan sesat, yang tak praktis, ribet, tak akan menyampaikan ke mana-mana, dan untuk itu ia hanya perlu memselisihkannya, bukan mempertemukan keduanya lalu keduanya dibentrokkan.

Tapi kenapa penyair harus melakukannya penyadaran itu? Sejak semula ketika bahasa memberi bentuk pada kesadaran itu, telah ada orang yang memanfaatkannya untuk mengambil peran sebagai pemberi peringatan, membangunkan orang-orang untuk bersama-sama memberi kesaksian seperti kata Rendra.  Sesungguhnya penyair dan puisinya tak pernah melepaskan peran persuasio itu, ketika dengan puisinya ia membujuk,  menggerakkan, mengajarkan sesuatu, menawarkan serangkai faedah (utile) yang dibungkus dengan nikmat indah bahasa (dulce).

Jakarta, 2 Agustus 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *