Esai: Kritikus (M.S. Hutagalung) Versus Penyair (Ajip Rosidi) – 1

Kritikus (M.S. Hutagalung) Versus Penyair (Ajip Rosidi) (1)

Oleh Hasan Aspahani

KRITIKUS, akademisi, dosen sastra, pelopor kritik sastra Rawamangunan MS Hutagalung menulis kritik atas buku puisi Ajip Rosidi “Ular dan Kabut” (Budaja Djaja, 1972). Kritik itu dimuat di Horison, Februari 1975.

Hutagalung memulai esainya dengan mengutip sajak terakhir di buku itu, “Telah Banyak Kutulis”, yang ia sebut sebagai pembelaan diri yang tak perlu. Kenapa? Dari situ kritik Hutagalung langsung tajam.

Begini sajaknya:

Telah banyak kutulis tentang langit,
tentang laut, angin dan gunung;
telah banyak kutulis tentang hidup,
tentang maut, lara dan untung;
Telah banyak.
Dan masih akan kutulis tentang langit,
tentang laut, angin dan burung-burung;
tentang hidup, mati dan tentng cinta
yang memberikan harapan dan kepercayaan
membangkitkan manusia
dari lembah putusasa
an menjadikan hidup lebih berwarna.

“Masalah sastra sering terpusat bukan pada apa atau tentang apa yang diungkapkan sebuah ciptasastra, tetapi bagaimana menyampaikan hal itu,” ujarnya.

Ajip di sajaknya memang menulis tentang sesuatu yang klise, yaitu bahwa ia telah dan masih akan menulis tentang laut, angin dan burung-burung, hidup mati dan cinta.

Mutu puisi, selain cara ungkap, kata Hutagalung, juga ditentukan oleh tafsiran pengarang tentang tema-tema tersebut. Tantangannya adalah bisakah penyair menafsirkan dengan cara yang berbeda yang tak hanya mengulang kelaziman-kelaziman.

Kritik Hutagalung terhadap sebagian besar sajak Ajip di buku itu adalah: Ajip tak bisa mengelak dari hal-hal yang lazim. Tema yang sama dari sajak Ajip yang lain dibandingkannya dengan sajak Asrul Sani dan Rendra.

Sajak kedua penyair pembanding itu dikatakan diungkapkan dengan “gaya khas simbolik yang menarik”, yang berjarak alias tak terlalu langsung. Cara ucap yang patuh pada kelaziman hanya akan menghaslkan sajak yang terasa datar dan tak mengejutkan.

Sajak lahir dari pengalaman penyair menghayati kehidupan. Pengalaman bisa sama. Tapi penghayatan itulah yang seharusnya berbeda. Persoalannya apakah penghayatan itu punya harga untuk dibagikan kepada orang lain sebagai sajak atau lewat sajak?

Jika hanya berhenti sebagai penghayatan saja tanpa berusaha menawarkan keberbedaan estetik dalam puisinya maka, kata Hutagalung, “… ini menarik buat catatan pribadi tetapi tidak berhasil ditarik sedemikian rupa sehingga menarik juga bagi orang lain.”

Apa yang diharapkan dari puisi yang baik? Puisi yang baik adalah puisi yang bisa membawa pembaca ke arah dimensi-dimensi baru dalam pengalaman. Sajak yang tak hanya membawa pemikiran klise.

Ada juga sajak Ajib yang disebut Hutagalung sebagai sajak yang meskipun mengangkat tema yang itu-itu juga, tapi caranya mengungkapkan dan apa yang ditemukan dari yang itu-itu saja menjadi pesona yang bikin sajak menjadi terasa baru dan unik.

“Sajak yang itu-itu juga, atau sajak yang sama biasa, terasa tetap baru kita rasakan apabila mengandung hikmat dan misteri kehidupan,” ujar Hutagalung menutup esai kritiknya.

Apa komentar Ajip? Perlukah seorang penyair menjawab kritik atas karyanya? Bagaimana cara Ajip menjawab kritik itu? Mungkin kita bisa belajar dari situ. Serulah pokoknya… (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *