Esai: Lautan Waktu Puisi Indonesia

Catatan: Esai ini adalah pengantar buku “Lautan Waktu – Sepilihan Puisi Klasik Indonesia” (Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasan Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kosa Kata Kita). Buku tersebut diterbitkan bersama dua buku lain (esai dan cerpen) dalam rangka Musyawarah Sastrawan Nasional Indonesia 2017, di Hotel Mercure Ancol, 18-20 Juli 2017.

Oleh Hasan Aspahani

Kesusasteraan Indonesia akan tumbuh sebaik-baiknya, kalau ia tidak dipagarkan dalam lingkungan tanah kita saja. Seni, kesusasteraan kita, harus mendapat ilham dari seluruh alam. Tidak benar yang pengaruh asing itu melemahkan saja. Kita harus berakar sedalam-dalamnya di tanah kita, tetapi juga kita harus mengembangkan cabang-cabang ke kiri – ke kanan dan ke atas supaya kita peroleh udara yang sesehat-sehatnya yang dibawa angin dari segala penjuru alam. — J.E. Tatengkeng dalam “Penyelidikan dan Pengakuan” dalam Pujangga Baru III / 1, Juli 1935.

 

I.

KEPADA penyair Indonesia pernah diajukan pertanyaan: sejauh manakah puisi mampu merekam suatu cerita mengenai suatu pembukaan sidang Konstituante yang pertama? Cerita tentang uang dollar dan penanaman modal asing? Fanatisme yang meluap tentang aksi kaum reaksioner? Atau konsepsi PYM Presiden Soekarno? Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan oleh seorang penyair yang mulai dikenal pada akhir dekade 1950-an, Soeprijadi Tomodihardjo, dalam sebuah artikel pendek “Kemampuan Puisi – Kepada Penyair Heroik” di lembar budaya Genta, Majalah Merdeka (Agustus 1957).

Artikel itu membawa diskusi ke persoalan bagaimana memperluas tema puisi di satu sisi dan persoalan batas kemampuan puisi sebagai medium pengucapan dan pemenuhan syarat estetis puisi sebagai seni pada sisi lain. Tentu saja, jika puisi ingin berkembng, maka wilayh tema  harus terus-menerus diperluas agar tak buntu berkisar antara persoalan cinta kasih yang sempit, religiositas yang formal, atau tema perjuangan berupa ajakan yang dangkal.

“Jika saudara seorang penyair, tentu dengan tajamnya dapat merasakan bahwa dalam hal itu saudara berhadapan dengan dua alternatif pokok, yaitu bahwa saudara akan memeras daya-cipta sendiri atau memperkosa batas-kemampuan puisi sendiri,” ujar si penulis artikel. Artinya, jalan keluar dari (jika itu disebut persoalan atau tantangan) pertanyaan itu bersandar pada bakat dan intensitas kerja menyair, dan bagaimana mengembangkan puisi itu sendiri sehingga batas-batas kemungkinan pencapaiannya meluas.

Saya ingin memakai acuan berpikir lama yang rasanya masih relevan  itu ketika memilih dan membaca sajak-sajak di buku ini. Mula-mula abaikan kata ‘klasik’, ini tak mengacu pada periodesasi tertentu. Saya ingin dan suka memakainya sebagai penghormatan pada penyair-penyair dan sajak-sajaknya yang saya pilih untuk kumpulan ini. Mereka para penyair kita kelahiran antara 1903 hingga 1929. Dari banyak nama saya memilih 20 penyair, masing-masing diwakili oleh lima sajak. Kenapa mengambil tahun kelahiran itu? Karena ketersediaan bahan dan kemudahan mengakses bahan tersebut. Sajak-sajak dari penyair kelahirn sebelum Abad ke-20 bukan tak kalah menariknya. Harus diupayakan oleh siapa saja untuk menggali sajak-sajak era tersebut agar bentangan peta perjalanan puisi negeri ini terbaca lebih lengkap.

Kenapa lima sajak? Karena rasanya  dari jumlah itu cukup bahan bagi kita untuk mendapatkan gambaran variasi  tema serta gaya ucap masing-masing penyair. Juga Karena pertimbangan batas ketebalan buku. Tentu saja telaah yang lebih  dalam harus dilakukan dengan membaca seluruh sajak masing-masing penyair.

Memilih tahun kelahiran sebagai acuan mengandung risiko juga. Tiap-tiap penyair memulai ketertarikan dan menulis puisi bisa pada usia yang berbeda-beda. Artinya kemunculan mereka sebagai penyair pun beda. Sebagai contoh kita bandingkan Chairil Anwar dan Mh. Rustandi Kartakusumah. Rustandi lebih tua setahun, tapi ia belum muncul sebagai penyair pada zaman Jepang. Soal lain adalah variasi panjang napas menyair. Chairil tak panjang usia, sementara ada yang dikaruniai umur panjang dan terus menyair hingga akhir, ada juga yang napas menyairnya pendek meskipun berumur panjang. Asrul Sani, Rosihan Anwar, Ali Hajsmy misalnya, terjun dan punya kiprah penting di bidang lain. Hal ini mudah dilepaskan dari soal pokok, sebab – mengutip Sutardji Calzoum Bachri –  penyair boleh berhenti menyair kapan saja, tanpa mengurangi nilai – jika memang bernilai – karya yang telah ia hasilkan.

Yang menyatukan mereka semua adalah pendidikan dan minat. Para penyair kita ini adalah orang-orang yang sadar akan pentingnya pendidikan, dan memanfaatkan dengan baik kesempatan belajar yang mereka punya. Lalu mereka dipersatukan oleh minat yang sama juga kepercayaan bahwa sastra, khususnya puisi, bisa dan punya peran penting untuk membentuk identitas bangsa yang pada masa itu adalah bayangan kegelisan bersama.

Belajar, juga menulis puisi, pada masa itu identik dengan berjuang. Maka tak heran jika tema-tema ini – menuntut ilmu, berjuang, keteguhan hati, tekad untuk merdeka – muncul dalam puisi-puisi mereka dengan variasi yang meluas. Jika Ali Hasjmy yang tinggal di Aceh menulis sajak rakyat yang meratapi sambil memberi semangat dengan janji setia untuk berjuang kepada pemimpin di pembuangan (termasuk Soekarno tentu), hal yang sama dilakukan Chairil dalam sajak yang tak kami pilih untuk kumpulan ini, maka kelak Roestandi menulis sajak untuk Soekarno dengan posisi setara, pribadi ke pribadi. Tema besar kemerdekaan sebagai impian besar muncul pada sajak-sajak prakemerdekaan, tetapi pada sajak Toto Sudarto Bachtiar yang ditulis di tahun 1953 tema itu diucapkan dengan nada yang sama sekali lain.

 

II.

Pada sajaknya “Bahasa, Bangsa”, Muhammad Yamin menulis: Besar budiman di tanah Melayu / Berduka suka, sertakan sayu; Perasaan serikat menjadi berpadu / Dalam bahasanya, permai merdu.   Sajak ini ditulis dan disiarkan pada 1921, tujuh tahun sebelum Sumpah Pemuda.  Ini sajak penting bukan hanya bagi puisi Indonesia tapi bagi Bahasa Indonesia.  Yamin menyadarkan bahwa bahasa penting sebagai alat untuk mempersatukan bangsa, juga untuk perjuangan dan perlawanan. Ia tahu benar, kolega-kolega terpelajarnya adalah orang-orang yang fasih berbahasa Belanda karena pendidikan.

Karena itu dia menggugah kesadaran pemuda terpelajar Sumatera akan hal itu lewat organisasi Jong Sumatera dan majalah yang mereka terbitkan, dan juga lewat puisi. Hal yang terus ia kobarkan dan ia bawa ke kongres besar yang melahirkan Sumpah Pemuda.  Yamin konsisten pada ide perjuangannya, mengingatkan bahwa kita terlahir di bangsa / berbahasa sendiri, dan jika kita tiada berbahasa, bangsa pun hilang. Menulis puisi, setelah Yamin, punya arti lain yaitu sebagai suatu bentuk perlawanan.  Meskipun kemudian Yamin dalam lanjutan perjuangannya, merasa tak lagi cukup menempuh jalan puisi.

 

III.

Perjalanan puisi Indonesia adalah sejarah ikhtiar penafsiran ulang, pembaharuan, perombakan, perlawanan, atas kaidah dan kebiasaan lama.  Jika syair ditulis dengan basa-basi penulisnya (maklumlah hamba bukan pengarang / ilmu tiada, pahampun kurang, hina miskin bandingan larang, hidup musafir di negeri orang)  maka Sutan Takdir ingin penyair baru membuang itu. Lantas pilihannya apa? Soneta!

Armijn Pane, salah seorang pendiri Pujangga Baru bersama Takdir,  menulis panjang soal bentuk sajak baru yang dipinjam dari Barat itu.  Sekadar bentuk baru? Benar-benar barukah? Tidak juga, kata Armijn, karena ini hanya sebuah pembaharuan dari bentuk yang sudah pernah ada (kuatrin, bahkan empat larik sebait itu juga ada pada pantun dan syair), tapi kebaruan dalam ucapan yang langsung itu sepadan dengan semangat zaman.

Pada sajak-sajak Roestam Effendi (Bukan Beta Bijak Berperi, Menangis, Bunga Cempaka), juga pada Muhamad Yamin, J.E. Tatengkeng dan Sanusi Pane, masih kita temukan rasa syair lama itu, terutama pada tema memuja alam, atau meratapi nasib malang.  Tapi mereka tak lagi tunduk sepenuhnya pada model syair lama itu.  Pada sajak lain mereka mencoba memakai bentuk soneta dengan nyaman dan berhasil.

“Begitulah kami menimbulkan vorm baru yang jadi modernisasi vorm lama, kami membaharukan, menghidupkan yang lama menurut gelombang semangat kami, yaitu semangat masyarakat yang mengelilingi kami,” ujar Armijn salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru, bersama Sutan Takdir, dan Amir Hamzah.

Hasrat untuk selalu menawarkan sesuatu yang baru, itulah yang membuat puisi Indonesia tumbuh dan berkembang. Kebaruan itu dilakukan dengan membuka diri. Mengambil pengaruh dari luar, tapi itu bukan kemudian pengaruh itu dipakai mentah-mentah. Soneta yang ditulis oleh penyair Indonesia adalah soneta Indonesia.  Sebelum soneta Eropa itu, yang banyak dibaca adalah lirik-lirik Tagore. Amal Hamzah menerjemahkan Gitanjali.  Model sajak-sajak penyair besar India itulah yang mewarnai sajak-sajak Indonesia, menyempal dari syair dan pantun yang sebenarnya juga bentuk yang diolah dari pengaruh yang diserap dari luar, Arab dan Persia.  Itu dilakukan dengan sadar meski bukan tak ada penentangan.  Tatengkeng harus menulis sebuah artikel “Penyelidikan dan Pengakuan” dalam Pujangga Baru III / 1, Juli 1935, yang panjang sekali menguraikan tentang  hal itu, yang mana kutipannya mengawali tulisan ini.

Tatengkeng menulis: Kesusasteraan Indonesia akan tumbuh sebaik-baiknya, kalau ia tidak dipagarkan dalam lingkungan tanah kita saja. Seni, kesusasteraan kita, harus mendapat ilham dari seluruh alam. Tidak benar yang pengaruh asing itu melemahkan saja. Kita harus berakar sedalam-dalamnya di tanah kita, tetapi juga kita harus mengembangkan cabang-cabang ke kiri – ke kanan dan ke atas supaya kita peroleh udara yang sesehat-sehatnya yang dibawa angin dari segala penjuru alam.

Pada tanah kita sendiri, sastra harus berakar sedalam-dalamnya. Tapi jangan dipagari tanaman sastra itu hanya tumbuh di lingkungan tanah kita saja.  Jangan hanya memandang ke dalam. Kita harus memandang ke luar. Itu syarat yang diperlukan kalau kita ingin sastra tumbuh dengan baik. Kesadaran  itu, yaitu menumbuhkan sastra Indonesia dengan keberanian untuk keluar,  telah ada sejak tahun 1935.

Kita yakin Chairil – yang beberapa sajaknya tesertakan dalam kumpulan ini, melakukan itu dengan kesadaran yang sama. Ia membaca sajak-sajak luar: Perron, Marsman,  Slauerhoff, lalu menggali lagi Auden, Conford, Rilke, untuk memperkaya bentuk, dan membesar kemungkinan tema-tema yang bisa diucapkan di dalam sajak Indonesia.  Hal yang sama dilakukan Ramadhan K.H. yang mengolah model sajak-sajak Lorca (dia menerjemahkan dan menerbitkan buku sajak Lorca), apa yang kelak dilakukan juga oleh Rendra dengan hasil yang berbeda dan tapi sama-sama berhasil memperkaya bentuk sajak-sajak.

Bila Sanusi Pane menulis:

Langit lazuardi bersih sungguh,
Burung elang melayang-layang,
Sebatang kara dalam udara.
Desik berdesik daun buluh,
Dibuai angin dengan sayang,
Ayam berkokok sayup suara.

(Sawah, dalam Puspa Mega, 1927)

Dan Tatengkeng menggubah sajak begini:

Dilengkungi langit berhias bintang,
Caya bulan di ombak menitik,
Embun berdikit turun menitik,
Engkau menantikan ikan datang.
 

Mengapa termenung,
Apatah direnung?
Mengapa lagumu tersayup-sayup,
Mengapa mata sesekali kau tutup?
Ah, mengapa termenung,
Mengapa kau pandang ke kaki gunung?
(Nelayan Sangihe dalam Rindu Dendam, 1934)

Maka kelak Ramadhan menulis:

Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.

 
(Dendang Sayang, 1, dalam  Priangan Si Jelita, 1958)

Apa yang berkembang dari tiga sajak yang ditulis dalam selisih waktu yang cukup jauh itu? Sanusi menggarap sajaknya sebagai laporan yang puitis dari apa yang terpandang oleh mata penyairnya. Tatengkeng melakukan hal yang sama lalu mencoba menggerakkan jiwa pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan penuh permenungan. Ramadhan, telah sampai pada satu tawaran lain: ia menyatukan dengan padu citraan alam yang ia pakai sebagai bahan sajak dengan perasaan yang ingin ia sampaikan.  Kepaduan ucapan yang dicapai oleh Ramadhan adalah sebuah pencapaian baru.

Demikian sekadar contoh, dan pada sajak-sajak lain kita juga bisa melihat perkembangan pengucapan, dan pencapaian dalam sajak Indonesia.

 

IV.

 Suatu kali di Gelanggang, Asrul Sani menulis: Kita harus sampai pada puisi “gigantis” yang menyeluruh – sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi – yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi ini emosi hanya pendorong “perasaan” yang dialami penyair untuk dirasakan oleh penikmat.

Seperti diakujinya sendiri, Asrul tak banyak menulis puisi. Beberapa sajaknya terkumpul bersama Chairil dan Rivai Apin (Tiga Menguak Takdir, 1950), kemudian satu buku kumpulan sajaknya sendiri (Mantera, 1975).  Asrul adalan contoh penyair yang berhenti menulis puisi tapi terus berjalan jauh lewat jalan kesenian yang lain. Ia menulis cerita, dan terutama menulis skenario dan menyutradarai film. Tetapi, puisi dan pemikiran Asrul tentang puisi tak bisa kita abaikan.

Apa yang ia tulis pada artikel “Deadlock pada Emosi Semata” tentang sajak “gigantis”, adalah sebuah teguran, peringatan dan tantangan.  Kira-kira, Asrul ingin bilang, menulisnya sajak apa saja, tapi harus ada yang berhasrat, berpikir, berikhtiar untuk sampai pada puisi besar yang tak sekadar catatan atau sobekan emosi sepintas lalu semata. Manusia dan hidup adalah sumber utama penciptaan dan itu harus dibawa meluas sehingga dunia sendiri tak lagi menjadi batas. Emosi? Itu tetap diperlukan sebagai pendorong perasaan.  Ini masih bisa kita tautkan pada “gerak sukma” yang disanjung penyair sebelumnya, tapi untuk masuk ke tahapan baru perkembangan sajak Indonesia, hal itu saja tak lagi cukup bagi Asrul.

 

V.

Puisi Indonesia, telah menempuh masa perkembangan yang panjang dan hasilnya harus membuat kita bangga. Banyak alasan untuk berbesar hati. Puisi Indonesia membuktikan satu hal terpenting, bahwa Bahasa Indonesia terbukti punya potensi estetis yang unggul.  Rosihan Anwar dalam satu tulisan mengaku harus belajar Bahasa Indonesia sebelum mulai menulis.  Di sekolah ia belajar, membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.  Kecuali segelintir penulis yang tetap menulis dalam bahasa Belanda, para penulis terbaik kita, termasuk Rosihan, kemudian percaya benar pada kekuatan bahasa Indonesia.  Itu yang membut kita kini punya banyak bahan yang tersedia bagi siapa saja yang ingin bekerja untuk puisi kita hingga saat ini. Antologi ini hanya satu ikhtiar kecil untuk memulai apa yang sebenarnya juga sudah dan harus dikerjakan oleh banyak pihak.

Puisi Indonesia adalah lautan luas. Lautan waktu, seperti kata Sanusi Pane, dalam satu judul sajaknya yang ada dalam antologi ini sekaligus menjadi judul yang menyemangati ikhtiar pengumpulan sajak-sajak klasik kita yang sedemikian kaya dan menawarkan satu cara pandang baru.

      Jiwaku telah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti,
membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
      Aku bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit
bertabur bintang.
      Mata kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
      Badai turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengem-
pas-empaskan daku seperti tempurung.
      Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut,
sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.

(Lautan Waktu dalam Madah Kelana, 1931)

Gelombang dalam lautan waktu itu mengempas-empaskan kita. Kita mendapati diri terdampat di daratan sejahtera. Langit cerah. Tapi kita tak boleh berhenti di sana. Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut, sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.

 Jakarta, 3 Juni 2007

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *